Pada tahun 1921, Hirananda Shastri telah menemukan sebuah prasasti yang terbuat dari tembaga di ruang depan Biara Nalanda yang berlokasi di Nalanda, negara bagian Bihar di India Timur Laut. Prasasti yang berupa piring tembaga ini kemudian dikenal dengan nama Prasasti Nalanda.
Prasasti Nalanda ini dibuat oleh Raja Depaladeva dari Dinasti Pala yang berkuasa di Bengala. Tidak jelas tahun berapa prasasti ini dibuat, yang ada hanya keterangan bahwa prasasti ini dibuat pada tahun ke-39 masa pemerintahan raja Devaladeva. Namun, diduga kuat Prasasti Nalanda dituliskan pada paruh pertama abad kesembilan mengingat kematian Raja Devaladeva terjadi antara tahun 843 dan 850.
Isi tulisan prasasti Nalanda ini pada bagian awalnya menyebutkan bahwa Raja Depaladeva telah diminta oleh Maharaja Balaputradewa yang termashur, raja dari Swarnadwipa melalui seorang utusan untuk mendirikan bangunan vihara di Nalanda.
Pada bagian berikutnya disebutkan bahwa Raja Balaputradewa adalah cucu dari raja Jawa (Javabhumi) dari wangsa Sailendra yang dikenal sebagai "permata dari wangsa Sailendra (sailendravamsatilaka) yang dijuluki Sriviravairimathana (pembunuh pahlawan musuh). Raja jawa yang kawin dengan Tr, anak Dharmasetu.
Disebutkan juga bahwa Raja Jawa ini berputra seorang yang cakap dan gagah perkasa laksana pahlawan seperti Yudishtira, Paracara, Bhimasena, Karna dan Arjuna, yang tak lain adalah ayah dari Balaputradewa.
Merujuk pada pendapat Zakharov, satu-satunya raja Jawa, yang dalam hal ini adalah penguasa Medang (Mataram Kuno) yang memiliki gelar dan julukan seperti itu adalah Sri Maharaja Rakai Panamkarana Dyah Pancapana sebagaimanan disebutkan di prasasti Kalasan (778 M), yang dalam Prasasti Mantyasih (907 M) disebut Sri Maharaja Rakai Panangkaran dan Wanua tengah III (908 M) disebut sebagai Rake Panangkaran. Nama raja ini pula yang disebutkan di prasasti Ligor (775 M) dan Kelurak (782 M)
Menurut prasasti Wanua tengah III, Rake Panangkaran ini berputra Rake Panaraban (yang dalam prasasti Mantyasih disebut Sri Maharaja Rakai Panunggalan). Rakai Panaraban berkuasa di Medang, sesuai penanggalan di prasasti Wanua tengah III, pada tahun 784-803 M.
Setelah Rake Panaraban, menurut prasasti Wanua Tengah III, raja Medang yang berkuasa adalah Rake Warak Dyah Manara yang berkuasa pada tahun 803- 827 M (yang dalam prasasti Mantyasih disebut Sri Maharaja Rakai Warak). Rakai Warak ini adalah putra dari Rake Panaraban dan juga cucu dari Rake Panangkaran.
Dari Prasasti Wanua Tengah III dan prasasti Nalanda dapat diperoleh keterangan bahwa kedua cucu dari Rake Panangkaran itu sama-sama menjadi raja, meski raja di dua tempat yang berbeda dimana Rakai Warak Dyah Manara menjadi raja di Medang (Mataram Kuno/Jawa) dan Balaputradewa menjadi raja di Swarnadwipa (Sumatera).
Jika kakek dari Balaputradewa dapat diidentifikasikan sebagai Rake Panangkaran, apakah secara langsung dapat dikatakan bahwa Balaputradewa adalah putra dari Rake Panaraban, putra bungsunya?
Jika hal ini dibenarkan, dan penulis juga beranggapan demikian karena sesuai dengan penggambaran yang ada di prasasti Nalanda bahwa ayah dari Balaputradewa adalah raja yang cakap dan gagah perwira yang digambarkan seperti Yudishtira, Paracara, Bhimasena, Karna dan Arjuna.