Lihat ke Halaman Asli

Jati Kumoro

nulis di podjok pawon

Manunggaling Kawulo-Gusti

Diperbarui: 7 Oktober 2015   19:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam dunia spiritual Jawa (Kejawen) manunggaling kawulo-gusti atau menyatunya manusia dengan  Tuhan merupakan pengalaman spiritual manusia yang sifatnya sangat pribadi dan sangat susah untuk disampaikan dalam bentuk tulisan atau kata-kata, dan hanya bisa dipahami dan dimengerti hanya oleh yang bersangkutan. Akan tetapi, pada umumnya, manunggaling kawulo-gusti ini bisa dipandang sebagai tingkatan tertinggi dalam olah spiritual manusia.

Namun, sebelumnya  perlu untuk dimengerti bahwa Gusti atau Tuhan dalam dunia spiritual Jawa itu dipercaya adanya. Tuhan itu ada, namun bagaimana wujudnya itu yang tidak bisa dikira-kira (tan keno kiniro) dan tak bisa dibayangkan (tan keno kinoyo ngopo).

Lalu bagaimana cara menjelaskan konsepsi manunggaling kawulo-gusti ini ? Hubungan antara manusia dan Tuhannya itu disampaikan penggambarannya  melalui sebuah perlambang. Seperti yang akan penulis sampaikan berikut ini.

  • Tuhan dilambangkan dengan matahari
  • Manusia dilambangkan dengan cawan yang diberi air.

Letakkan sejumlah cawan yang berisi air di tengah lapangan saat tengah hari. Kemudian lihatlah ke dalam cawan-cawan tersebut. Di dalam cawan akan terdapat matahari  sebagai akibat dari sinar matahari yang mengenai dasar cawan. Penggambaran ini menunjukkan bahwa Tuhan itu ada dan berada di luar tubuh manusia namun sekaligus dengan kuasanya berada di dalam diri manusia. Namun manusia tidak sama dengan Tuhan.

Dalam dunia spiritual Jawa, bayangan matahari di dalam cawan itu disebut dengan nama suksma sejati. Di dalam suksma sejati inilah sang guru sejati berada. Guru sejati inilah yang kemudian dikenal sebagai jati diri manusia, yang dalam lakon wayang “Dewa Ruci” dilambangkan sebagai Dewa Ruci yang merupakan sejatinya Bima.

Dengan demikian, seorang yang sudah mencapai tataran menyatu dengan Tuhannya itu tak lain adalah manusia yang sudah mampu mengenali dirinya sendiri, mampu memahami dirinya sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebagaimana yang sering dinyatakan dalam dunia spiritual Jawa bahwa manusia yang mampu mengenali dan memahami dirinya maka akan mengenal Tuhannya.

Manusia yang mampu mengenal Tuhannya, adalah manusia yang mampu memahami untuk apa dia dilahirkan di dunia ini, dari mana dia berasal dan apa yang harus dilakukannya untuk bekal nanti kembali lagi kehadapan-Nya, dengan tetap menjalani hidup yang wajar sebagaimana mestinya. Hal ini seperti apa yang dilambangkan  tokoh wayang Bima setelah berhasil menemukan dan mendapatkan wejangan dari Dewa Ruci, namun tetap menjalankan kewajiban hidupnya sebagai seorang satria, bukan beralih menjadi pendeta.

 

 

podjok pawon, Oktober 2015




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline