Indonesia memiliki banyak keragaman budaya didalamnya. Salah satunya adalah tradisi kebo-keboan di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, Kabupaten Banyuwangi. Keberadaan tradisi ini masih berjalan dan dilestarikan hingga saat ini. Upacara tradisi tersebut bertujuan untuk menolak balak dan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keselamatan dusunnya. Selain itu juga sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan atas rejeki atau hasil panen yang telah diperoleh.
Awal mula pelaksanaan upacara adat Kebo-keboan adalah ketika masyarakat petani Desa Alasmalang mengalami musim paceklik, sehingga pertanian mengalami kerusakan parah. Musim kemarau yang berkepanjangan mengakibatkan seluruh tanaman pertanian tidak membuakan hasil dan gagal panen. Selain itu juga terjadi wabah pagebluk yaitu wabah penyakit ganas yang menyerang masyarakat. Wabah tersebut tidak hanya menyerang manusia, tetapi juga menyerang hewan ternak salah satunya adalah kerbau. Akibatnya, musibah tersebut mengakibatkan masyarakat kesulitan untuk mengerjakan sawahnya. Salah satu caranya supaya tetap bisa mengerjakan sawahnya, petani menggunakan tenaga manusia yang digunakan untuk membajak sawah. Hal ini disebabkan karena pada waktu itu para petani di Desa Alasmalang sering diganggu orang-orang yang ingin merampas hasil panennya. Peristiwa tersebut berlangsung secara terus menerus dan menciptakan rasa trauma terhadap petani.
Akan tetapi saat ini, tradisi ritual kebo-keboan sudah mengalami komodifikasi. Komodifikasi tersebut terdapat pada proses tahapan pelaksanaan ritual yang dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu pra prosesi ritual, prosesi inti, dan pasca prosesi inti. Selain itu juga adanya penyesuaian serta penambahan unsur baru pada kebo-keboan. Poin penting dalam proses tersebut adalah agar kebo-keboan tidak hanya diterima masyarakat dari segi spiritualnya saja, tetapi juga bagian dari bentuk seremonial agar bisa dinikmati oleh masyarakat luas.
Ritual adat kebo-keboan pada tahun 2006, menjadi pemenang dalam acara Anugerah Wisata Jawa Timur yang diadakan oleh Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur. Kemudian pada masa kepemimpinan Bupati Bapak Anas, menyusun sebuah program pariwisata yang disebut dengan Banyuwangi Festival. Kemudian program tersebut memiliki program turunan yang bernama BEC (Banyuwangi Ethno Carnival). Di tahun 2013 kebo-keboan diselenggarakan selama dua kali. Penyelenggaraan pertama tetap sebagai pemenuhan kebutuhan ritual. Kedua ditampilkan tanpa pakem yang selama ini dijalankan sebagai bagian dari Banyuwangi Ethno Carnival.
Tujuan dilakukannya komodifikasi adalah untuk memperkenalkan kepada masyarakat luar terkait dengan ritual upacara kebo-keboan, tidak hanya pada masyakarat Desa Alasmalang sebagai pengunjung. Secara tidak langsung, hal tersebut berdampak pada matapencaharian terutama dalam bidang ekonomi yang mampu mencari keuntungan. Dalam kenyataannya banyak masyarakat yang memaknai upacara sebagai hiburan, rasa ingin tahu dan adanya sikap moral terhadap komitmen kultural setempat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H