~((*))~((*))~((*))~
"Ehh, apa ini?" bertanya Ra dengan wajah miskin ekspresi.
"Kafein," sebaliknya Khal, jawabannya kaya akan luapan emosi. Lelaki itu mendengus sebal, super kesal pada dirinya yang bebal. Tersadar bila lawan bicaranya ini tangguh dan kebal. Betapa tidak, hal seperti ini sudah berjalan tiga tahunan dan 'sogokannya' itu masih juga membal. Memang sih...
Jeda sekejap. Hening merayap. Ra sibuk menimang silinder coklat gula aren berdisain stylish nan keren. Mungkin dipesan khusus di toko onlen? Ra membatin. Kerling matanya mendapati Khal tengah disibukkan dengan tetek bengek persiapan morning duty-nya. Terkesan lelaki itu, tak ambil peduli pada nasib sekeping hati yang direpresentatifkannya via perhatian kecil lagi manis dimana telah dilakukannya selama tiga tahun terakhir ini...persistently!
"Tumben, biasanya paper cup?" tanya Ra. Kepalanya tertunduk. Mulutnya terkatup, meski keluhnya sangat ingin meletup. Pantaskah ia mendapatkan semua ini? Kelopak matanya cepatmenutup. Disana tampillah dengan nyata sekian ratus gelas kertas. Orang akan melihatnya aneh. Untuk apa gelas-gelas kertas itu dibersihkan, dipipihkan agar tak merampok ruang, lalu disimpan dalam kotak jernih akriklik untuk sesekali dipandang, dikeluhkan, kemudian ditangisi diam-diam?? Tak hanya aneh, orang akan mencapnya sebagai pesakitan...
"Paper cup?" tanpa terbersit ingin menatap lawan bicaranya, Khal balik bertanya. Tangannya gesit mengubrak-abrik laci meja. "Hmm, siapa ya yang kemarin teriak-teriak 'Kill the Cup and Save Our Forest!' sambil berkata begitu, Khal melongok ke dalam laci meja. Sesuatu yang dicarinya raib tah kemana.
Ra tersenyum sumir. "Orang itu pasti sok idealis banget. Padahal dunia tahu, Starbahkkk dan seluruh franchise-nya adalah donatur terbesar perusak hutan, hmm?"
"Orang itu...," Khal berdiri, kedua tangannya membentang memegang lini meja. Gesture-nya mengatakan ia bersiap menjabarkan sosok yang disebut sebagai 'orang itu' dengan sangat detail seakan ia telah sejiwa, sangat mengenal 'orang itu'.
"Eh, ada apa lagi selain kafein?" buru-buru Ra mematahkan perkataan Khal. Sepagi ini, oh, sungguh ia tak ingin kehilangan muka. Ataupun sekedar merebak rona merah menanggung malu. "Ada racunnya ngga?" seraya menyengir lalu tumbler itu ditempelkan ke bukit pipinya, memindai derajat kehangatannya. Dengan begitu bila rona merah itu sudah pun ada, maka takkan terlalu kentara, kan?
"Ada," Khal menodongkan moncong obeng ke arah Ra, sebelum ia menyuruh perangkat itu menjelajah setiap sela untuk menemukan sesuatu yang dicarinya. Atau aku telah memindahkannya? Khal membatin sambil matanya tajam mengawasi setiap penghuni laci meja kerjanya itu.