Lihat ke Halaman Asli

Jasmine

TERVERIFIKASI

Email : Justmine.qa@gmail.com

Cerpen | Terpasung

Diperbarui: 3 Juli 2019   18:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[image's taken from Fotolia.com]

Mau kuceritakan sebuah rahasia? Sejak bertahun silam, rahasia itu masih utuh terjaga, belum menemukan akses keluar dari kotak seluas duaribu meter persegi. Kujamin ini akan menjadi tonggak pendobrak yang membukakan mata akan betapa kejam manusia dibalik topeng keseharian yang mereka kenakan.

"Aaahh!"

Urat leherku mengejang namun  tembok perkasa di sekelilingku hanya membisu-gagu. Seperti itulah mereka diciptakan, kukuh dalam membelenggu. Dasar kalian batu! Umpatku.

Sudah lama rahasia ini ingin kuceritakan. Tapi adakah yang bersedia mendengar? Ku bukan pemuka agama yang ceritanya bernafas kebajikan. Membimbing yang tersesat menuju Jalan Selamat. Menuntun yang galau meraih binar pencerahan. Dan bukan pula pendongeng yang lihai memadu rasa. Apalagi pembicara yang sekali berkoar di atas mimbar seminar berbayar sekian dollar. Padahal dari rahasia ini aku sudah bisa mengendus euphoria kegemparannya. Terbayang arus deras digital yang akan membuatnya viral. Yang pasti, sudah semestinya tak ada tempat keramat bagi rahasia penuh kesumat. Namun...

"Aaahh!"

Hasrat yang menggebu ini seperti tersumbat, mampat, rasanya seperti emfisema akut hingga udara yang kupasok dalam paru-paru sulit sekali untuk dihembuskan keluar. Tanganku kejang mengepal. Tapi tak sesuatupun terpental. Sebab bogemku hanya bersarung bantal. Ini bagaikan pungguk merindukan bulan, sungguh tak kulihat ada cara untuk berbagi rahasia ini. Aku...., ugh! Sumpah, gila! Ini luar biasa mengesalkan!

"Jangan dipaksakan, nanti tanganmu kian terluka. Lagipula apa sih yang ingin kau sampaikan?" ia bertanya, topeng iblisnya disembunyikan dibalik raut wajah memesona sapuan kosmetika.

Seperti biasa, aku lantas menangis tersedu-sedu, persetan tabu atau rasa malu. Batinku mengharu-biru dalam sedu-sedan dan lidah kelu.

"Dasar kau tidak tahu terima kasih," ia lagi berkata, bibirnya mencibir dipagut pemulas merah merona. Dahulu sekali kuntum bibir itu sangat ampuh mengoyak imanku rapuh, tapi kini melirik bayangnya pun sudah mendirikan bulu remang.

Mendadak aku ingin tertawa. Sekeras yang kubisa. Hingga tumpah airmata. Dan kutak tahu lagi mana airmata tangis dan airmata tawa. Keduanya telah bersenggama dan pandang mataku mengabur dibuatnya. Ia berkata benar. Dengan kemewahan super ini, segala yang berlabel high-end dan hanya dimiliki konglomerasi, memang sudah sepatutnya bila terima kasih diucapkan.

"Sudah banyak penghiburan yang kuberikan. Mau kubantu menghitung? Bagaimana kalau dimulai dari kamarmu ini?" senyumnya sinis di bibir asimetris.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline