[Satu]
***
Seorang gadis berdiri termangu. Mata jernihnya beredar memindai tiap jengkal lokasi yang telah lama ditinggalkan. Sepuluh? Atau limabelas tahun yang lalu? Ya, mungkin sudah selama itu namun terminal ini seperti tertahan waktu. Kios-kios lusuh yang mengepungnya, jalan tanah berdebu tebal yang tak terbayang beceknya di musim hujan, juga tugu pendek tepat di tengah terminal yang menjadi semacam patokan bagi kendaraan untuk berputar.
Ah, bicara soal kendaraan, rupanya moda transportasi itulah satu-satunya yang tersentuh makeover total. Status 'glindhing' yang pernah menjadi raja terminal ini telah digantikan oleh kaisar Toyota. Tampak di setiap sudut berjejer kotak-kotak besi bermesin empat gigi tengah menunggu penumpang. Sebutan 'angkot koprades' bisa jadi berasal dari label kuning di badan minibus itu, Angkutan Umum Koperasi Desa.
Malang benar para turangga. Dahulu sekali mereka pernah hidup merdeka. Berkuasa di sabana terluas hingga ke pegunungan. Lalu hadirlah manusia yang memberinya kehormatan sebagai tunggangan para jawara. Kemudian disanjung sebagai penghantar para bangsawan. Kini dianggap tak lagi menawan karena kalah pamor dengan kuda Jepang. Entah kemana perginya kuda-kuda perkasa penarik glindhing. Sais-saisnya pun kini mungkin telah berganti kemudi.
Aha, lihat! Satu, dua ekor yang tersisa tampak tertambat. Bebannya bukan lagi kereta, namun entahlah apa yang dijejalkan di sekeliling tubuh kekarnya itu. Barangkali segala yang menjadi beban manusia maunya ditimpakan kepada mereka, Sepasang dengan surai panjang yang lemah terkulai itu terlihat hilang gairah di bawah naungan sang surya. Ah, teganya para tuan yang membiarkannya terpapar sinar ultraviolet yang demikian menyengat.
Gadis melambaikan tangannya. Dan tak lama baginya untuk terhimpit berdesakan bersama warga lokal. Riuh rendah irama dalam angkot itu. Sebuah panel diskusi nan hangat diiringi canda ria dalam dialek lokal itupun berhasil menghantarkannya pada masa-masa yang telah lama berlalu.
Angkot yang melaju terangguk-angguk, menapaki alur yang tak terjamah infrastruktur, tak menghalangi penumpangnya yang berjubal untuk menertawai segala hal. Wajah-wajah tanpa intrik bahkan ketika obrolan menyinggung isu politik. Wajah-wajah tanpa keluh bahkan ketika terik matahari melelehkan luh, keringat, mengalir di antara gurat kehidupan yang jelas tak mudah mereka jalani.
Gadis itu masih asyik tergelitik menyelidik hati-hati wajah-wajah yang menjadi karib seperjalanannya. Hingga matanya memanah seseorang. Berkulit gelap, berpenampilan amat sederhana kalau tak ingin dikatakan ala kadarnya, namun jauh dari lusuh. Tangannya menggantung, mencengkeram erat lelangit angkot, hingga urat-uratnya dipaksa mencuat. Pasti karena posisi duduknya yang tepat di pintu, terombang-ambing labil jalanan berbatu. Mulutnya terkatup rapat, memblokir setiap kata yang sejatinya pengap terperangkap abab. Bahkan sekedar berdeham pun tak terdengar.
Sungguh tak satupun keriuhan ini mampu mengusiknya. Pendar matanya dibuang sejauh pepohon yang melambai berlarian, kebun teh nan hijau menghampar, jurang, atau mungkin sungai yang mengalir tersilap oleh kerimbunan. Tidak, meski sumpah serapah meluncur begitu murah dari mulut sopir pemarah yang gemas menyalahkan pemerintah. Tidak, meski juga beberapa gadis muda tampak repot dalam upaya menarik perhatiannya, saling berbisik dan tak henti melirik, lalu terkikik geli satu sama lain.
Usaha yang sia-sia. Gadis menggerutu sebal. Jaim amat sih? Pikirnya begitu. Atau barangkali ia yang telah jemu dengan ritme keseharian ini? Angan seperti apakah yang tengah dibiarkannya terlepas bersama angin yang menyisir tiap helai dedaun? Eh, tunggu dulu, hmm, ia tampak familiar, tapi siapa dan dimana pernah jumpa ya? Si gadis bergumam.