Lihat ke Halaman Asli

Jasmine

TERVERIFIKASI

Email : Justmine.qa@gmail.com

Sendratari Ongki

Diperbarui: 13 Oktober 2016   16:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

-o0o-

Syahdan di sudut kampung negeri ini, aku kembali terjebak dalam kekacauan yang...sebenarnya tak terlalu asing lagi bagiku.

“Aku kan temen kamu ya? Eh, jangan mau temenan sama dia. Kamu temen sama aku saja, nanti aku kasih kamu permen yang banyaaak sekali.”

Dan kanak-kanak itu terlihat ripuh dalam membentuk faksi. Bujuk sana. Rayu sini. Kelahi mulut. Saling sikut. Adu rebut. Laga urat leher untuk menjadi yang paling berisik. Cemburu dan emosi menjadi asesori negoisasi ala bocah-bocah yang nampak jumawa ketika sudah meniru laku para bapaknya.

Maka tak salah bukan, bila di awal telah kukatakan bahwa kekacauan ini sungguh tak terlalu asing bagiku. Sebab konon, aku dan mereka, masih terkait satu rantai purba, yang hingga millenium kini masih pun dicari kemana pergi mata rantai yang hilang itu.

Ting Tang Ting Dung. Blang Blang Dut.

Ah, itu dia, Ki Slenthem sudah mulai ditabuh. Suaranya mengalun menggebu-gebu. Dalam ritmis penuh mistis. Seolah dijejali roh-roh hingga logam-logam pipih yang terentang itu terdengar sangat berjiwa. Dan selalu digdaya mengoyak keterguguanku. Tak hanya itu, kolaborasinya yang selaras seirama bersama Mas Kendang pun nyata menghasut para budak yang masih berkutat seputar nadi dan urat. Mereka sontak membubarkan diri. Drama yang belumpun satu babak itu, harus berakhir prematur. Para pelakonnya kocar-kacir tanpa perlu bayangan pentungan apatah lagi semburan gas air mata.

Ting Tang Ting Dung. Blang Blang Dut.

Lihat! Mereka benar-benar tersihir oleh kidung Ki Slenthem dan Mas Kendang. Tak menyoal panggung pertunjukan yang didirikan sembarang asal. Yang terpenting adalah drama, pelakon dan ceritanya baru. Maka sudut kampung itu tak lagi muram durja, ia sejenak rehat dari paceklik bahkan ketika temali besi di leherku kian mencekik.

Hm, bukankah kita semua demikian adanya? Aku, kau dan mereka, acap terpesona pada sesuatu hal yang baru. Dan selalu gempita menyambut jejanji yang mengkurva. Tak terpicing pada setiap iming. Cring!

Auh! Auh!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline