[o0o]
Bermuara pada sehelai saputangan warna fosil-fosil purba, putih busam. Selampai itu terlampau unik untuk disebut biasa-biasa saja dikarenakan motif sulamannya sungguh tiada dua. Sebentuk bahtera mungil melekat di sudut. Tampaknya tengah berlayar dalam naungan matahari yang semburat sinarnya bukan sekedar garis lurus memanjang, namun serangkaian aksara kapital yang sama dan disulam sambung menyambung. Sedang dasar kapalnya adalah sulaman beralur biru yang nyata menggambarkan riak-riak air.
Harus punya kejelian mata untuk dapat menemukan keunikan tersendiri pada sehelai cita yang dahulunya hanya dapat digenggam oleh tangan para bangsawan itu. Di sana ada terekam jejak kesungguhan dan ketulusan. Dan tak hanya itu, si pesulam jelas menginginkan kain katunnya tampil berbeda, sempurna mempesona dan mampu berbicara mewakili dirinya. Lalu dengan cerdiknya sebuah pesan telah disusupkan secara tersamar di antara benang-benang yang disulam membentuk gelombang biru, tersembunyi rapi di sela lekuk demi lekuk reriak air itu.
“Sertakanku dalam bahteramu, Gentaku.”
Pesan yang singkat, namun butuh masa yang lama, sangat lama, bagi Genta untuk tiba pada hari ini, di reuni yang ia harap dapat mengantarkannya pada si penyulam pesan itu.
**
[G is for Gift]
**
Pagi belum bermata, seorang pelajar putri telah mengukur pematang. Roda sepedanya bergulir menodai bulir-bulir embun yang tengah bercumbu halimun. Dingin begitu menyesap tulang, namun arah pandangannya tetap terpusat, tak menyadari di belakangnya seorang penguntit berjuang membuntuti. Pada akhirnya, Genta gagal meraih trofi ‘Tour de Pematang’, dan anak perempuan itu, seperti yang selalu terjadi, berhasil menjadi yang pertama tiba di sekolahnya.
“Sial! Kalau bukan karena ban sepedaku kempes, pasti sudah kususul dia!” rutuk Genta seraya bergegas menggagahi kelas yang masih dikungkung sepi, tak sabar mendapati sesuatu dalam laci. Irama jantungnya menderu tak tentu. Meski sudah terlatih dengan kejutan pagi hari dari para pengagum rahasianya, tetap saja ia dirayapi rasa penasaran.
“Hmm, mari lihat, upeti macam apakah yang dipersembahkan untuk pangeran Genta pagi ini,” setengah bergumam Sang Pangeran bicara pada dirinya sendiri.