[image :123RF_stockphotofree]
~.~
Pada akhirnya, aku gagal menghalangi kepergian mas Rahman. Tak ada yang dapat kuperbuat selain melepasnya dengan kesedihan akut. Mau bagaimana lagi, karena tugasnya memang benar-benar mendesak. Namun kegagalan ini hanyalah bentuk kebahagiaan yang tertunda. Sebab seminggu kemudian dia sudah muncul di ruang tamuku, percis seperti yang telah dia janjikan sesaat sebelum pesawatnya lepas landas.
“Kok sudah pulang?” duh, mulutku ini. Aku menyesali minimnya kosakata setiap bertatap muka dengannya. ”E-eh, silahkan duduk dulu,” dengan senyum penuh malu, cepat kuperbaiki kemiskinan bahasaku.
Sejenak mas Rahman menatapku tak percaya. Barangkali karena saking sudah terbiasanya dengan tabiat burukku itu, diapun menjawab santai, ”Tadinya aku diminta pulang tahun depan, tapi kutolak karena khawatir akan kesehatanmu.”
”Aku? Loh aku baik-baik saja, kok?”
“Lekmu bilang kau sakit serius. Tiap hari murung, tak sedap makan, gelisah menghitung hari, resah menengok kalender, terus menerus memeriksa jadwal penerbangan dan tak henti mengkhawatirkan ramalan cuaca,” papar mas Rahman.
“Tidak, aku tidak sakit, ” aku menukas cepat. Ugh, lelahnya aku dengan ego dan harga diriku yang setinggi ini. Kenapa tidak mengiyakan saja sih? Tapi ini semua kan gara-gara lek Kamidi.
”Oke, aku percaya,” mas Rahman nampak geleng-geleng kepala.
Tapi aku tidak lantas percaya. Wajah mas Rahman yang tenang, menyiratkan bahwa kalimat dan isi hatinya jelas bertentangan.
“Ya-deh,” dengan gemas kuberkata. “Murung dan tak sedap makan, bolehlah, tapi itu terjadi karena masalah biologis saja,” masih separuh hati aku mengakui. “Tapi gelisah menghitung hari, resah menengok kalender, terus menerus memeriksa jadwal penerbangan dan tak henti mengkhawatirkan ramalan cuaca, perlu kutegaskan itu tidak ada kaitannya dengan rindu, cinta, atau apa sajalah yang pasti telah disebutkan lek Kamidi. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan mas Rahman. Dan aku tidak sedang menunggumu, kok. Dari dulu mas juga tahu itulah pekerjaanku. Aku membutuhkan informasi semacam itu untuk kepentingan pengiriman barang yang diorder para pelanggan.”
“Oke.” Singkat, datar dan tenang. Ketenangan yang mengesalkan.
“Masih tidak percaya?” hatiku semakin terusik melihat reaksi ademnya.
“Percaya. Seperti yang kau bilang, itu semua tak ada kaitannya denganku. Kau tak mungkin seperti yang dikatakan lekmu. Gelisah menanggung rindu, demam karena sakit cinta, ah, lek Kamidi jelas mengada-ada. Terlebih lagi, memang tak ada sms yang mengatakan seperti itu dari lekmu.”
Aku seperti dikuliti. Parasku sekonyong-konyong menghangat. Malu setengah mati! Sesaat kami sama-sama terdiam. Aku sibuk memberangus bayangan lek Kamidi. Sementara mas Rahman yang sempat kulirik, sibuk dengan urusannya membolak-balikkan surat kabar.
“A-aku… jahat ya?” setelah jeda yang menggelisahkan, perlahan kubuka kembali jendela percakapan.
“Sangat…” sahut mas Rahman, masih datar dan tanpa mengalihkan pandangan dari surat kabar yang terbentang di tangannya.
”Maaf deh,” kutambahkan sedikit nada mengajuk, tapi entahlah, mengapa terdengar memalukan? Buru-buru kutambahkan, ”Lalu mana janji mas Rahman, katanya mau cerita?”
“Hadeuh, kau itu ya! Kau dengan hati kerasmu itu!” keluh mas Rahman.
Sambil melipat surat kabarnya, mas Rahman tersudut untuk memulai cerita yang telah sangat kunantikan. Apalah lagi kalau bukan ihwal pertemuannya dengan pasangan JP Henri dan Blondie. Sebuah pertemuan tidak disengaja, katanya, dan terjadi disaat timnya tengah menyelusuri jalan setapak untuk survey sebuah lahan hutan milik negara yang disewakan kepada perusahaan produsen kertas. Mereka berpapasan dengan sepasang bule yang tertimpa musibah karena salah satunya nyaris kehilangan nyawa oleh bisa ular.
“Bagaimana Paul tahu kalau aku dan mas Rahman saling mengenal?” tanyaku tak dapat membendung rasa penasaran.
“Gara-gara Fani ‘Fatso Funny’! Dia yang memaksa menempelkan ini,” mas Rahman menyodorkan ranselnya. ”Dan menggantungkan ini!”
Reflek kututup mulutku dengan telapak tangan. Mataku terbelalak melihat stiker bergambar siluet tangan yang dikelilingi tulisan berbayang dengan background warna cyan, yang berbunyi ‘Get Klo’s Hand’. Logo sama yang tergantung di key-chain ransel mas Rahman. Sticker dan key-chain yang biasa kuberikan kepada pelanggan sebagai souvenir resmi dari bisnis onlenku.
Stiker dan key-chain! Oh, bisa kubayangkan surprise JP Henri saat melihat logo yang memang selalu kusertakan dengan bangga di setiap surel kami. Betapa mengagumkan menyadari benda remeh semacam itu sanggup memainkan sebuah takdir. A single slicky tricky funny dari… Fatso Funny? Ho-ho, akan ada perang saudara kalau Fani bisa dengar nickname yang diberikan abangnya itu.
Selanjutnya mengalirlah cerita yang akan sulit untuk dipercaya andai tak kudengar langsung dan lihat sendiri berlembar foto JP Henri, Blondie bersama mas Rahman. Kini terjawablah makna ‘perjalanan terakhir’ yang disebut JP Henri dalam surelnya. Aku shock mendengar mereka berdua sama-sama telah divonis mengidap penyakit berbahaya. Blondie bahkan hanya sempat sebulan di Papua dan harus dipulangkan ke negara asalnya karena demam berkelanjutan yang kian memperlemah stamina tubuhnya. JP Henri masih di Papua saat memperoleh kabar kematian Blondie seminggu setelah kepulangannya itu. Tanpa terelakkan, sosok mas Rahmanpun menjadi tempat curahan kepedihan hati JP Henri. Tak hanya itu, JP Henri akhirnya mengungkapkan keterlibatannya dalam demoralisasi negeri ini, kemerosotan ekonomi dan beberapa praktik keji yang terselubung namun detilnya, tentu saja, tak dapat kuungkapkan di sini. Lalu untuk membayar kembali semua ‘dosanya’ itu, disisa hidupnya yang semakin menipis, JP Henri dibantu mas Rahman banyak melakukan kegiatan sosial untuk warga lokal. Menurut mas Rahman, semua asset kekayaannyapun telah diwariskan kepada lembaga kesejahteraan sosial khususnya bagi penduduk asli yang bermasalah karena lahan hutannya dijadikan sumur galian raksasa. Sebuah sumur yang mustahil diurug lagi sekalipun dengan emas, permata, berlian, hasil galiannya berpuluh-puluh tahun lamanya itu.
“Apa-apaan ini? Kau mendapukku untuk bercerita, tapi kemana perginya teh, kopi, boro-boro disuguhi jus,” mas Rahman memprotes meja yang lengang kecuali kehadiran setumpuk surat kabar, majalah dan vas bunga.
Hening kembali menyergap ruang tamu selepas kusajikan jus kiwi dan beberapa toples kudapan. Kami berkutat dalam pikiran masing-masing. Aku terdesak oleh hasrat ingin menjenguk JP Henri. Tapi khawatir bila keinginan itu bisa disalah-artikan mas Rahman.
“Kau sedih?” senyum mas Rahman nampak arif dan tulus.
“Bolehkan?” tanyaku dengan senyum pilu.
“Penyakit dan ajal datang kepada sesiapa saja. Tak ada yang melarangmu bersedih. Itu manusiawi,“ mas Rahman berujar.
Sepi lagi. Kumanfaatkan kesenyapan di antara kami untuk merangkai kalimat terhalus andai nanti kumampu menelurkan keinginanku itu. Walaupun tak kuragukan kebesaran hati mas Rahman, tapi mengingat mulutku yang kerap salah ucap, akupun terjebak dalam timbang-pilih yang melelahkan.
“Pergilah menjenguknya,” mas Rahman berkata pelan.
“Be-benarkah aku boleh pe-pergi menjenguknya?” tanyaku tak percaya namun hati segera berucap syukur atas pengertiannya.
“Jadi nampaknya sekarang ini kau merasa perlu minta ijin dariku terlebih dahulu?” tanya mas Rahman. “Hm, ini mulai terdengar menyenangkan.”
Aku hanya manyun mendengar nada guraunya. Namun lagi-lagi, kami terperangkap dalam kebisuan. Momen seperti inilah yang kerap kuhindari. Tidak seperti waktu-waktu silam saat berhadapan dengan JP Henri, aku bisa bergenit-genit, bersenda-tawa, bahkan terkadang nyaris melupakan batasan pembantu dan majikan. Tapi berhadapan dengan mas Rahman lain cerita. Selalu ada gelisah saat duduk berdua, salah tingkah saat dihujani tatapannya, dan jengah ketika dia iseng menggoda. Aku lebih suka mas Rahman mengeluarkan adat lamanya bermulut pedang. Itu memberiku banyak alasan dan celah untuk balas menyerangnya. Mengapa belakangan dia nampak lembek ya?
Sudah mengkusut ujung rok ini kupilin-pilin. Berganti taplak meja yang kuatur-atur. Lalu bantal-bantal sofa bermotif bunga Sakura, pun tak luput dari kegesitan tanganku. Tapi semua aksi itu tak cukup membunuh waktu. Dan sungguh, aku tak bernyali mengangkat muka jelek ini, karena kuyakin mas Rahman masih tekun memandangi subyek tunggal yang tengah duduk kelincutan di depannya. Benarlah apa yang dikatakan mak, berdua-dua bersama lawan jenis itu memang banyak memancing mudharat. Mas Rahman bermudharat dengan matanya. Aku dengan isi kepala yang kelimpungan ini. Bingung karena tak tahu lagi harus berbuat apa, aku bergegas bangkit dari sofa.
”Aku mau masak,” ujarku beralasan. Aduh, salah! Harusnya ‘aku mau pipis’, alasan terakurat dan tak mungkin mendapat bantahan.
”Duduk!” titah mas Rahman itu disertai cekalan tangannya.
Aku terduduk seketika, lalu cengar-cengir saat melepaskan cengkeraman tangannya. Tidak kusangka tangan ceking itu mampu mendatangkan badai bergelora yang lebih hebat dari sentuhan tangan JP Henri.
”Pilih masak atau visa kepergianmu kubatalkan?” mas Rahman mengancam.
Sunyi lagi. Bantal sofa kujadikan ‘korban’ lagi. Pantatku juga serasa bisulan lagi. Bagaimana ini bisa terjadi? Sejak kapan jadi begini??
”Mau kutemani? Kanada kan jauh?” tanya mas Rahman.
”A-a, kurasa sebaiknya aku pergi sendiri. Bo-boleh?” tanyaku cemas, semoga mas Rahman tidak bersikukuh dengan niat baiknya itu.
Oh tidak, aku tidak bisa membayangkan duduk satu kabin, bersinggungan bahu dengannya. Belum lagi nanti kesana-kemari, berdua saja dengannya saat di luar negeri, bisa-bisa mati kaku berdiri. Aku masih perlu membiasakan diri. Aku masih butuh waktu untuk belajar mengendalikan ‘penyakit jantungan yang kambuhan’ saat-saat bersamanya. Berani sumpah! Dulu tak terjadi yang seperti ini saat menaruh hati pada JP Henri.
”Yakin?” mas Rahman masih gigih dalam usahanya menawarkan diri.
“Aku pernah ke Hong Kong sendirian. Kali inipun takkan terlalu sulit, apalagi ada miss Darcy yang akan menjadi guide-ku.” Aku bernafas lega, akhirnya ada alasan tepat yang dapat memblokir kemauannya.
”Baiklah. Lagipula aku sekedar bertanya saja kok. Sebab pengajuan cutiku telah tertolak sehubungan survey berikutnya yang deadline-nya sudah sangat mendesak,” jelas mas Rahman kalem.
Eladalah! Sekarang bukan manyun, tapi aku mulai agak jengkel. Lalu terdorong rasa gemas, kulempar cushion ke arahnya. Namun malang, bantal cantik itu singgah di landasan yang salah. Ups! Gelas tinggi langsing itupun terguling. Jus kiwinya menambah warna di kemeja mas Rahman.
“Ma-maaf…” penuh penyesalan aku bersimpuh. Kucabut paksa beberapa lembar tisu, lalu dengan gugup dan panik kubersihkan noda kiwinya.
Hanya sedetik saja untukku menyadari degup jantung yang menghebat pada jarak yang terlampau rapat dengannya. Namun secepat itu pula mas Rahman menahan upayaku untuk kembali berdiri.
“Teruskan! Nodanya masih banyak tuh! Jangan berhenti sampai benar-benar bersih!” tangan dan matanya serentak mencengkeramku.
... ¥©¥…
Berbekal restu mas Rahman, aku terbang menjumpai JP Henri. Karena Garuda tak melayani rute langsung ke Kanada, dengan senang hati aku menumpang maskapai penerbangan yang bermotto Excellent in Flight. Di Vancouver Int’l Airport, aku dijemput miss Darcy yang langsung mengantarkanku ke rumah sakit.
Human immunodeficiency virus memang masih menjadi momok yang menakutkan untuk waktu yang tak dapat diramalkan. Aku berjuang menahan air mata demi melihat kondisi JP Henri yang begitu mengenaskan. Semua kemegahan yang pernah dimilikinya hilang entah kemana, lenyap tak bersisa. Pipinya cekung sedalam laguna. Bibirnya kering meretak, ungu kebiruan. Ruam memenuhi tiap jengkal kulitnya. Tak nampak bulu-bulu halus yang dahulu bersinar pirang. Kelopak matanya terkatup rapat. Nafasnya tersendat-sendat.
Bukan tegur sapaku, sebab ruangan kami tersekat tembok berkaca, tapi kontak batinlah yang membuatnya perlahan-lahan membuka mata. Aku tercekat melihat betapa layu bola mata hijau yang dulu mampu menghipnotisku. Tak ada asa hidup padahal dahulu sorot kehijauan itu pernah terang benderang dan menjadi serum penyemangat hidupku. Kerongkonganku seketika tersumbat oleh tangis yang mati-matian kutahan. Miss Darcy menggenggam erat tanganku, menyumbangkan kekuatan.
Dari balik dinding kaca, JP Henri nampak berusaha mengatakan sesuatu. Matanya sayu namun lekat menatapku. Tangannya bergetar hebat ingin mengisyaratkan sesuatu.
“He said ‘I’m sorry’,” dokter yang merawatnya menerjemahkan isyarat itu.
“You’ll be okay, Paul,” bisikku putus asa demi melihat gerbang kematian demikian kuat merengkuhnya.
Inilah pertemuanku yang pertama kali dengan JP Henri sejak resign-ku dari rumah sir Isaac bertahun silam. Namun menjadi pertemuan yang terakhir dengan cara yang amat kusesalkan karena teramat menyedihkan. Terlepas dari keyakinan yang dianutnya, sesuai wasiatnya juga, maka jenasah JP Henri dikremasi, seperti halnya almarhumah Blondie. Keduanya bersatu dalam abu yang bertaburan, melayang dihisap lidah-lidah angin lalu lenyap dalam gemuruh air terjun di lokasi favorit mereka berdua semasa hidup, Cagar Alam dan Taman Nasional Kanada, Nahanni...
..[Bersambung?]..
..[Tamat?]..
..[Bersambung? Tamat?]..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H