Lihat ke Halaman Asli

Jasmine

TERVERIFIKASI

Email : Justmine.qa@gmail.com

Alun-alun Kota Petang Itu..

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Alun-alun kota petang itu. Angkringan dan tetek-bengek piranti beniaga tertata rapi. Panci, dandang, wajan, masing-masing dengan kehitaman nyata bekas jilatan api di tungku, meleber dari pantat hingga sisi-sisinya, juga beberapa goresan, jejak gosokan sabut kelapa, abu bercampur sabun, mungkin.

Di belakangnya digelar tikar-tikar beranyam pandan. Cahaya yang tak dapat disebut kemegahan berasal dari sebuah lampu berbahan bakar minyak bertekanan, ialah sang petromak yang penuh derita, kausnya merah membara, dan tangkinya sangat butuh dipompa. Sebuah lapak yang sederhana.

“Tujuhribu rupiah saja, Mas!” jawabnya tanpa melupakan keramahan. Keremangan itu tidak serta merta mengaburkan senyum hangatnya. Mata tua itupun menyorot gembira saat menerima selembar uang penukar sepiring nasi dengan lauk-pauk yang meriah, sangat menggugah selera. Apakah angkringan ini dianggapnya komedi? Berapakah laba yang ia peroleh dengan tujuhribu rupiah? Dan tak kulihat sedikitpun sebak yang menandakan pernah hadirnya nestapa, mengapa? Padahal sangat kutahu derita itu pasti masih dihimpunnya hingga petang ini.

“Simpanlah kembaliannya untuk Ibu, saya ikhlas,“ ujarku segera menyembunyikan tangan di saku jaket, khawatir keikhlasanku ditampiknya. Sisa tigaribu rupiah pastilah jumlah yang cukup besar untuk seorang pedagang lesehan di alun-alun kota. Lihatlah besarnya mata tua itu membelalak, menebar rasa tidak percaya diikuti ucapan terima kasih tiada henti dan doa syukurnya yang terdengar runtun serupa pantun. Aku cepat berlalu sebelum ibaku dimaknai lain oleh si Ibu.

Alun-alun kota petang berikutnya. Aku kembali. Tanpa adanya menu lain yang disajikan angkringannya, maka kusambut nasi dengan lauk serupa kemarin. Meriah, mluntrah dan rasa yang utuh terjaga, tetap menggugah. Kali ini, jamuanku tak berlangsung sunyi. Obrolan ringan meluncur sebagai penyelia yang mempermudah perutku mencerna sebutir dua butir jagung yang dijejalkan dalam kedelai tempe berbalut tepung.

”Kali ini Ibu berharap uang pas saja, Nak !” sergahnya cepat ketika tanganku tengah berupaya menggali dasar kantong.

Aku pun tak lekas membayar, tapi menatapnya lekat-lekat. Andai dengan itu ia bisa segera mengenaliku, pastilah bebanku terangkat dengan segera. Namun perhatiannya lebih tertuju pada irama pompa. Usai beberapa tekanan, petromak itu lepas dari derita dan mendapatkan kembali tenaganya. Cahaya yang lebih terang, selalu disukai laron-laron, dan para pelanggan tentunya. Diskusi semakin menarik dengan kunjungan beberapa pembeli yang jelas bukan warga lokal, menilik dari pertanyaannya yang sarat dengan muatan rasa ingin tahu. Dari basa-basi yang merambah kepada pujian, perbincangan itu akhirnya bermuara pada masa lalu.

“Setiap masa menyimpan sejarahnya masing-masing, seiring roda kehidupan yang terus berputar. Itulah hukum alam. Siapapun tak bisa mencegahnya,” jawab si lbu tanpa kesan.

Namanya, Ibu Cita. Dahulu ia seorang pengusaha yang cukup berhasil di kota ini. Disegani lawan karena kejujuran dalam menjalankan usahanya, dicintai kawan karena kedermawanannya. Namun terkadang semua itu masih belum cukup bagi kehidupan yang acapkali banyak menuntut. Ketika sang suami jatuh sakit, satu per satu pabrik terpaksa mereka jual. Cerobongnya tak lagi mengasapi dapur keluarga. Istana kehilangan para penjaga. Bunga-bunga di taman berganti rumput yang tak perlukan penanganan, kereta-kereta pergi mencari tuannya yang bersedia mengisi tangki. Semua harta terkuras demi pulihnya kesehatan suami tercinta. Dan kota yang oportunis pun tak lagi menerima.

Aku masih ingat hari dimana gerobak yang disewakan tanpa imbalan karena iba, mengantar keluarga itu ke pinggiran kota. Di sana, Ibu Cita mencoba peruntungannya dengan membuka rumah makan sederhana. Mengambil posisi yang strategis, didukung keahliannya mengolah bahan makanan, rumah kecil yang ber-plang “Warung Makan Ibu Cita” segera mendapat kunjungan yang menggembirakan. Namun kesehatan suami tak kunjung membaik.

Beberapa tahun kemudian, rumah makan itupun harus berganti rupa menjadi warung yang lebih kecil di sebelah gerbang pasar. Saat itu suaminya telah tiada. Setelah beberapa tahun tak terdengar kabar, kini setiap malam Ibu Cita dibantu anak dan menantunya menggelar tikar berjualan lesehan di alun-alun kota. Cucunya sudah beberapa. Orang-orang masih mengenalnya yang pernah berjaya di masa lalu. Namun ia tak kehilangan senyumnya yang hangat dan keramahan saat meladeni para pembeli. Sifat yang tak pernah tanggal walau beragam cobaan telah mempermainkan hidupnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline