-Kaleena hilang-
Itulah bunyi pesan yang didapat Kiran dari pipa kecil yang terselip di kaki Merpangati Serat Sewiwi, nama burung kecil lambang kebanggaan negerinya, Nuswantaraya, yang kondang sebagai pengirim pesan tercepat dan terakurat.
Kiran menghela nafas panjang. Hatinya tengah bertambur gundah. Angannya terpecah-belah. Bayang-bayang Kaleena dan Dhanapati muncul silih berganti. Kang Dhana pasti sedih tak terkira, demikian resah batinnya saat mencoba menggambarkan raut kesedihan di wajah kakak seperguruannya itu.
Sudah dua hari berselang semenjak Merpangati Serat Sewiwi singgah di beranda rumah pohonnya. Dalam beberapa jam lagi, Dhanapati akan tiba di sini, di Bukit Tumugel, tempat yang telah mereka berdua sepakati untuk bertemu sebelum memulai misi perjalanan mencari Kaleena.
Berlindung di balik pokok beringin yang besarnya duapuluh kali lipat tubuhnya itu, Dhanapati tekun mengamati Kirani, gadis berjuluk Dayang Pamegat Sukma itu nampak santai namun penuh kewaspadaan tinggi. Meskipun demikian, ajian Sirep Nirkaton yang dimilikinya memungkinkan keberadaannya tidak terdeteksi. Maafkan aku Ran, aku pasti sudah gila, atau terlampau putus asa, hingga tega menyakitimu lagi dengan cara tak tahu malu seperti ini, tapi hanya kau sajalah yang dapat kuandalkan untuk saat ini, batin Dhanapati dalam samudera rasa bersalah yang menyiksa.
“Kelana Digdaya telah menemukan jejak Garuda Nglayang hingga sekitar Gunung Simien,” Kiran memulai percakapan setelah basa-basi yang disyukurinya berlangsung singkat usai pertemuannya dengan Dhanapati beberapa saat lalu.
Kini keduanya tengah duduk berboncengan di atas punggung Kelanda Digdaya, menumpang kepak sayapnya yang perkasa. Melanglang tinggi, meliuk melampaui gemulung awan yang menghiasi nirwana bersama Lammergeyer, burung yang termasyur sebagai maestro terbang. Kiran menamai burung piaraannya Kelana Digdaya, tunggangan sejati yang hanya dimiliki pendekar-pendekar tangguh macam dirinya. Selain tingginya tingkat kesulitan saat menaklukkan burung liar itu, melatihnya pun bukan pekerjaan mudah yang dilakukan sembarang jawara.
Bagi para pendekar dari wilayah Utara yang banyak bersinggungan dengan lautan, Lammergeyer menjadi andalan utama karena kemampuannya mengarungi bentangan samudera yang seakan tanpa batas. Namun bagi mereka yang mendiami wilayah Selatan, seperti Kaleena, maka Garuda Nglayang menjadi pilihan tunggal, bergantung pada kemampuannya menelikung lembah, menelusup belantara, dan ketangguhannya bertarung di udara.
Dhanapati diam tak menanggapi penuturan Kiran. Sepanjang perjalanan sejak meninggalkan wilayah Sunda Galuh Pakuan dan Trowulan, ia bertahan bungkam. Ini memang kali pertama ia menumpang Lammergeyer Kelana Digdaya, dan bukan pula karena keindahan pemandangan yang sungguh menakjubkan di bawah sana, hingga membuatnya kehilangan kemampuan berbicara. Namun berada sedemikian dekat dengan Kiran, duduk tepat di belakang punggungnya, bukanlah perkara yang mudah bagi Dhanapati. Belum lagi matanya yang sibuk kelayapan mengamati rambut halus di tengkuk yang bertekstur lembut dengan warna kuning langsat yang luar biasa menggoda. Sedang tangannya sudah sangat gatal ingin melingkari pinggang ramping yang berlekuk indah; memeluk, mendekap dengan segenap perasaan yang lama terpendam.
Dhanapati mengutuk dirinya sendiri! Sungguh, demi Surya Sang Penerang, ia lebih suka berhadapan dengan sepuluh jawara bergaman sakti mandraguna, daripada berada dalam situasi yang diam-diam telah melumpuhkan jantung dan hatinya seperti ini.
Kwaaakk! Jeritan Lammergeyer Kelana Digdaya membuyarkan lamunan nakal Dhanapati. Disusul suara lantang Kiran yang memerintahkannya untuk merundukkan kepala.
“Bersiaplah, Kang Dhana! Ada yang menyambut kedatangan kita!” seru Kiran, tangannya bersiap dengan jurus Nyiur Menampar Bayu yang memanfaatkan kekuatan angin di sekelilingnya untuk menghalau senjata-senjata kasat mata yang tengah diarahkan dari kelebatan rimba nun jauh di bawah sana.
“Sekarang biarkan mereka merasakan balasanku, Kiran!” pekik Dhanapati seraya merapal Sumunaring Kunirdalu, ajian yang mengeksploitasi sinar dan panasnya matahari. Dari kedua telapak tangannya keluarlah cahaya kuning yang menyilaukan mata dan membuat majal retina hingga berakibat buta permanen bagi siapa saja yang berani melawannya.
“Kira-kira siapakah mereka, Kiran?” tanya Dhanapati setelah hiruk-pikuk itu berhasil mereka atasi.
“Entahlah Kang! Banyak tempat telah kita lewati, beragam padepokan juga telah kita lalui tanpa permisi, mereka tentu tak senang bila keamanan wilayahnya terganggu oleh kedatangan kita”
Gunung Simien terkenal memiliki banyak gua di sepanjang tebingnya yang curam dan terjal, sebagian lagi tersembunyi di balik hutan lebat yang wingit dengan beragam penghuni.
“Bila kita gagal menemukan Kaleena di setiap gua, maka terpaksalah kita mengambil satu-satunya peluang yaitu menyeberangi Samudera Kapitu” terang Kiran diantara desing angin dan gemuruh awan yang beradu dengan kepakan sayap berbulu kelabu.
“Menemui Mbah Wongso untuk memohon petunjuk darinya, begitu?” tanya Dhanapati, matanya sendu menatap anak rambut yang riang berlarian di pelipis Kiran. Susah payah ditahannya kehendak dalam hati yang ingin menyentuh, sekedar merapikannya. Maafkan aku Kaleena, harusnya konsentrasiku penuh padamu yang entah dalam kondisi apa kini, keluh Dhanapati lirih.
“Benar sekali, Kang! Terakhir kali, beliau dikabarkan tengah semedi untuk menyempurnakan gelarnya sebagai Priyagung Jagabuwana, di salah satu pulau yang berada dalam jajaran kepulauan Nusa Alitlit” tandas Kiran, duduknya sedikit digeser ke depan. Angin begitu kencang, namun dengus nafas Dhanapati sungguh terasa benar di tengkuknya. Sambil menghela Kelana Digdaya agar mempercepat terbangnya, Kiran merapatkan Selendang Hangestreni, kain penghangat lehernya yang juga dapat berfungsi sebagai senjata pamungkas, kala-kala dibutuhkan.
Sebagai sahabat, jauh dalam lubuk hatinya, Kiran sangat mengkhawatirkan Kaleena yang keberadaannya kini tak tentu rimba. Lalu sebagai orang yang telah mengenal Dhanapati sejak kecil, dia dapat merasakan kesedihan yang dirasakan kakak seperguruannya itu. Namun sebagai perempuan, hatinya sangat tersakiti manakala pria yang sekian lama digadang-gadang sebagai pendekar pujaan, datang meminta bala bantuan demi wanita yang telah berhasil mencuri hatinya terlebih dahulu.
Dhanapati merapal Sandhekala Puput, ajian yang mengerahkan tenaga terdingin dalam tubuhnya hingga mampu menciptakan gumpalan salju membeku di kedua belah tangannya. Ini merupakan upayanya untuk meredam hawa nafsu yang tak terkendali. Dia sungguh tak ingin mengotori tangannya kecuali ingin mati oleh murka Mbah Wongso karena cucu kesayangannya ternodai. Dan penyesalannya pun tak kunjung usai bila mengingat Kaleena, pendekar cantik dengan pesonanya yang sangat mendukung jejuluk Shang Gurulaki.
Usai memperoleh Uji Pungkasan dari Mbah Wongso bertahun silam, Dhanapati diperintahkan turun gunung. Dalam pengembaraannya menguji kesaktian, takdir mempertemukannya dengan Kaleena. Darah muda membuatnya lupa pada janji yang lacur terpatri di hati Kiran. Oh, balasan apa kiranya yang pantas dia terima, karena telah melukai hati kedua wanita yang sangat dia kasihi? Dhanapati semakin mengepalkan tangannya, gumpalan salju itu dia sembunyikan di balik jubah. Dingin yang mengigit tulang mulai dia rasakan.
”Firasatku, Kaleena baik-baik saja, Kang !” ujar Karin seperti tengah mendengar kecamuk gelisah dalam hati Dhanapati. Kemudian, sambil menggigit bibirnya sendiri, Kiran menambahkan, ”Bersabarlah, Hyang Widhi selalu memberikan tantangan hebat kepada pribadi-pribadi yang kuat. Anggaplah itu sebagai pujian dariNya, hm ?”
Hrrggghh !! Khyaaa !!
Gumpalan salju bertebaran di awang-awang. Meleleh diterpa semburat Sang Surya, turun perlahan sebagai tetesan gerimis. Kiran masih belum menyadari apa yang tengah terjadi, ketika tangan Dhanapati mendadak memeluknya erat dari belakang.
Kwaaakk! Kwaaakk!
Lammergeyer terkejut mendapati hentakan kaki yang tak disengaja Kiran. Terbangnya hilang arah. Terus meninggi, menjauhi gua-gua yang batal dikunjungi.
**
“Hi hi! Kaleena, cucuku cantik yang pantas bergelar Shang Gurulaki! Hi hi! Jangan kau menyesali keputusanmu sendiri! Hi hi! Pantang menjilat ludahmu sendiri! Hi hi” Nini Srowok terkekeh-kekeh melihat kemurungan di wajah Kaleena.
“Kau sudah peroleh kesempatanmu, Cucuku. Cinta selalu memilih jalannya sendiri. Dhanapati akan kembali, bila Hyang Widhi mentakdirkannya denganmu. Tapi mulai kini, bersiaplah melapangkan dada, andainya ia berjodoh dengan wanita lain. Hi hi hi hi!”
Kaleena tersenyum getir mendengar nasehat Nini Srowok, salah seorang dari banyak guru yang diserap ilmunya. Bulir bening di sudut matanya, cepat-cepat diusap. Kepalanya menengadah, melemparkan kegundahan pada jajaran stalaktit dan stalakmit dalam gua persembunyiannya.
Dari cermin sakti milik Nini Srowok, Kaleena bisa melihat dua anak manusia itu berkembara bersama di atas punggung Lammergeyer yang perkasa.
“Benarkah tindakanku ini Nini? Kalau bukan karenaku, mereka telah bersama sejak lama, bukan begitu?”
Khyaaa !!
Seberkas cahaya ungu mematahkan batang lancip dari tempatnya bergantung. Kaleena sigap menahan laju stalaktit itu dengan jurus Tapak Kuda Mencal. Nini Srowok kembali melayangkan satu pukulan jarak jauh bertenaga sepuluh beruang marah yang kembali dapat ditangkis dengan baik oleh Kaleena. Pertarungan kecil itu agaknya akan berlangsung lama. Karena dalam benak Nini Srowok, hanya inilah caranya menyembuhkan kesedihan di hati Kaleena.
*Telas*
sumber gambar : 1x
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H