Lihat ke Halaman Asli

"Ayah, Jangan Pukul Aku Lagi"

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku hanya bisa memandang dengan tatapan iri. Ketika mereka semua bergembira dengan seragam merah putih dan tas juga sepatu yang nampak masih mengkilat. Memandang dari balik gubuk yang seakan penjara bagiku ini. Jika penjara disebut jeruji besi, mungkin ini bisa kusebut jeruji kayu. Akupun tak pernah tau sampai kapan aku harus mendekam di tempat yang mengerikan ini. Oh ya? apa kaliaan punya ayah? Ya! akupun juga punya ayah. Tapi setahuku ayah itu lembut dan penuh kasih sayang, tapi mengapa ayahku ini beda dari ayah-ayah biasa?

Aku masih terus termenung, membayangkan jika nanti aku bisa bersekolah.

"Hey anak malas! kerja sana! jangan cuma santai-santai saja!" gertaknya.

Sontak aku terkaget "Iya ayah, Nima kerja sekarang. Ayah, Nima mau sekolah kayak teman-teman, tolong ayah, ini permintaan terakhir Nima" ujarku.

"Tidak! Makan saja susah! masih mikirin sekolah kamu!, Kamu itu benar-benar cuma jadi benalu saja disini, karena kamu semua uang untuk judi ayah lenyap! karena kebutuhan-kebutuhan yang ayah harus beli buat kamu!" hardiknya.

Aku sangat sakit mendengar pernyataan tadi. Rasanya aku ingin keluar dari penjara ini, tapi aku tak tahu dimana harus tinggal. "Nima nggak akan mau kerja lagi sebelum ayah kabulin permintaan Nima untuk sekolah" aku hanya keukeh pada keinginanku.

"Masih untung kamu ayah masih bisa merawat kamu! kalau begitu maunya, pergi saja sana! ayah tidak pernah butuh anak malas dan menyusahkan seperti kamu!" ayah terus memakiku.

"Pokoknya Nima nggak mau ngamen lagi sebelum ayah kabulin permintaan Nima!" nada bicaraku mungkin menantang, pak!!! ayah melayangkan tamparannya kearah pipiku. Sehingga pipiku terasa berdenyut dan ada bekas memerah.

"Ayah jahat!" pekikku.

Aku hanya terdiam, dan kemudian berlari keluar kamar menuju teras gubukku, berisi dua bangku kayu yang sudah melapuk. Bekas tamparan itu masih terus terasa menyakitkan di kanan pipiku. Aku hanya bisa menangis sembari terus mengusap pipi kananku. "Ayah macam apa ini?" batinku. "Ah..., andai ibu ada disini, itu semua takkan terjadi"

Aku harus segera pergi mengamen, kalau tidak, ayah akan melayangkan pukulannya lagi kepadaku. "Ni, kok pipinya biru lebam gitu?" tanya bi Sita. "Iya, terbentur bi" jawbaku sembari tersenyum. "Rasanya nggak mungkin terbentur sampai lebam kayak gitu" bi Sita heran. "Pasti kerjaan ayahmu ya?" ujar bi Sita. Aku mengangguk pelan. "Tapi jangan kasih tau siapa-siapa ya bi, nanti ayah marah" ucapku. "Iya, kasian ya kamu Nima, mau tinggal sama bibi aja?" tawar bi Sita. "Nima nggak mau ngerepotin bibi, ayah juga pasti marah, oh ya bi, Nima ngamen dulu ya" aku berpamit. "Pergilah..., Hati-hati ya!" bibi mengingatkanku. "Sip!" aku mengacungkan jari jempolku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline