Lihat ke Halaman Asli

Terbitlah Terang

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

HARI ini adalah 22 April, sehari setelah memperingati Hari Kartini.


Kemarin, saat Hari Kartini, perasaan saya haru juga sedih. Saya melihat banyak kaum perempuan marayakan hari kartini. Jikaulau R.A. Kartini indetik dengan kebaya dan sanggul, mereka -kaum perempuan sekarang- mayoritas hadir dengan gaun indah dan bermacam kosmetik. Syukur, beberapa perempuan yang saya lihat, kompak mengenakan batik di Hari Kartini.


Ucapan "Selamat Hari Kartini" bertebaran di media sosial. Mereka (orang mempublikasikannya di media sosial) berharap agar sebanyak-banyaknya orang tahu bahwa dia sedang merayakan Hari Kartini. Namun, saya tidak mampu menyembunyikan kesedihan saya di saat tak sedikit orang di media sosial berucap selamat Hari Kartini dengan meme tak pantas di hari besar itu.


Judul buku "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang menjadi jargon harapan akan munculnya masa depan cerah kini telah dipelesetkan oleh oknum-oknum tertentu. Mereka seenak udelnya menggantikannya dengan kata-kata lain sehingga mengkaburkan makna dari prosa itu. Parahnya lagi, Kartini diganti dengan wajah ratis terkenal di negeri ini.
***
Kejadian ini mengingatkan saya pada sebuah tulisan seorang kritikus sastra. Dia merasa ada ketidaksesuaian pada buku berisi tentang Tan Malaka. Dia mengkritik bagian sampul buku itu, di mana terpampang gambar wajah seorang pembalap nasional. Bekal kecanggihan editing foto, pembalap itu diubah seolah-olah dia adalah Tan Malaka. Tan Malaka yang beraut keras telah berubah menjadi sosok lelaki rupawan dan disukai banyak lawan jenisnya. Sungguh itu adalah sebuah distorsi dan penyelewengan.
***
DI balik getirnya kehidupan, selalu saja menyisahkan kelegaan. Di balik perihnya hidup, selalu saja tersunging senyum tulus dari mereka yang bersyukur. Itulah yang terjadi di negeri ini. Di antara banyaknya orang tidak lagi memaknai semangat Kartini, masih ada perempuan-perempuan tangguh yang mau berkorban demi Indonesia lebih baik.


Barisan perempuan tangguh ini telah menyerap semangat juang dari para pendahulu mereka. Kemudian semangat tersebut dijaga, diolah, dan disalurkan menjadi sebuah gerakan melawan ego yang tumbuh sebab zaman sekarang ini. Mereka mau berbakti di daerah-daerah tertinggal, terbelakang, dan terluar demi menghadirkan perubahan-perubahan kecil yang nantinya jadi muasal perubahan besar.
***
Saat mentari 21 April 2015 condong ke barat, mendatangkan gelap. Bumi berputar, memunculkan kembali sang surya dari ufuk timur, terbitlah terang, kelender menjadi 22 April. Saat itulah saya menyadari, bahwa semangat Hari Kartini masih tersisah di hati sebagian manusia Indonesia.
Mereka yang masih punya semangat Kartini, telah menjadi suluh bangsa yang menerangi gelapnya kebangsaan warga negeri ini. Mereka membakar semangat untuk menjadi pelita kecil untuk perubahan-perubahan kecil. Terbitlah terang.

Medan, 22 April 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline