Lihat ke Halaman Asli

Orang-orang Kampus dan Saut Situmorang

Diperbarui: 16 Mei 2016   18:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sampul buku Orang-Orang Kampus (Foto: Jasman F. Simanjuntak)

Bapak akhirnya menitikkan air mata. Terakhir kali ia menangis ketika pemakaman istrinya, lima belas tahun lalu. Tapi hari ini, ia tidak dapat menahan kesedihan hatinya. Gundah hatinya bersumber pada anak kebanggaannya.

Bima, anak pertama Bapak, menjadi pemberitaan hangat di televisi. Bima tertangkap karena kasus korupsi bersama kawan-kawannya. Berita itu meruntuhkan pengetahuan Bapak kepada Bima selama ini. Lebih membuat hati Bapak sedih, padahal Bapak tidak pernah sekali pun mengajarkan dan memberi kelaurganya makan meski kesempatan untuk korupsi kerap kali datang.

Bima anak kebanggaan Bapak. Sewaktu mahasiswa, Bima begitu berani untuk melawan penguasa. Dia berdiri di depan dan berteriak demi membela rakyat kecil. Ia juga tidak gentar mengkritik pemerintah lewat tulisan di media massa. Ia adalah idola.

Ketika Bima mencalonkan untuk maju ke kursi dewan, dia ia memilih kampungya sebagai daerah pilihannya dan menang . Ia menjadi orang yang dimulaikan di Senayan. Bangga Bapak terhadap anaka pertamanya itu kian menebal.

***

Kisah di atas saya sarikan dari satu bagian dari buku kumpulan cerita pendek karya A.M. Lilik Agung. Orang-oang kampus, begitu judulnya. Buku ini kebanyakan berisi cerita perihal mahasiswa. Lilik mengisahkan mahasiswa yang dulunya berdemonstrasi dengan berteriak-teriak dengan pengeras suara menentang korupsi, nepotisme, dan kolusi, serta segala macam yang menindas kemanusiaan. Namun, ketika bekas mereka –yang berdemonstrasi itu- mempunyai kekuasaan, mereka seakan lupa pada perjuangan mereka sewaktu mahasiswa. Malah mereka berbuat yang mereka tentang dahulu.

Kisah yang dituliskan Lilik sering terjadi di dunia nyata. Banyak pelaku kejahatan korupsi adalah mereka yang dulunya pejuang kemanusiaan sewaktu masih mahasiswa. Saat mahasiswa, mereka kerap berdiskusi, membuat rancangan aksi demontrasi, menyebarkan selebaran, berpanas-panasan, berteriak-teriak, bernyanyi sekeras suara yang mereka bisa, mendapingi orang-orang kecil, dan macam lagi. Segalanya itu dilakukan mereka demi menentang penindasan.

Sayang, keadaan berubah. Ketika mereka duduk di tampuk kuasa, mereka lupa –atau pura-pura lupa. Mereka terlena dengan kenikmatan yang berdatangan. Mereka mengantongi uang yang sejatinya untuk rakyat. Mereka membuat kebijakan yang cenderung berpihak pada sekelompo kecil orang besar. Mereka berkhianat. Dan, mereka itu, tidak sulit untuk dilacak keberadaannya.

Melihat banyaknya mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berdemontrasi akhir-akhir ini yang terpancing dengan perkataan Saut Situmorang. Mereka meminta Saut untuk meminta maaf dan berhenti dari jabatannya sebagai komisioner KPK.

Saya tidak berpihak pada siapa pun di antara kedua belah pihak yang bertelingkah. Saya hanya sependapat dengan Saut kalau banyak petinggi atau pejabat mengkorupsi uang rakyat dan menerima suap. Padahal mereka sewaktu mahasiswa sering menentang perbuatan merugikan rakyat. Tapi, saya tidak bermaksud mengeneralisasikan bahwa alumni HMI adalah koruptor. Tidak!

Apa yang dikisahkan Lilik lewat kumpulan cerpen sudahlah dipesankan oleh Syafii Maarif. Di salah satu kampus di Sumatera Utara, saya pernah menyimak Maarif mengatakan kalau perjuangan mahasiswa itu tidak boleh musiman. Mahasiswa tidak boleh sebentar-bentar egaliter, sebentar-bentar feodal. Mahasiswa harus konsisten dalam perjuangannya.

Dan mungkin inilah yang dimaksudkan oleh Saut Situmorang bahwa perjuangan mahasiswa hanyalah perjuangan musiman. Mungkin begitu.

Salam…

Medan, 16 Mei 2016




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline