Bolehkah umat Islam menjaga gereja? Tentu saja boleh. Bukankah kita ini berada pada satu negara yang majemuk. Jadi apabila terjadi huru hara atau tindak kriminal, atau hal yang menggangu kenyaman sebagian warga, pasti hal itu akan berimbas pada Indonesia secara keseluruhan.
Tetapi menjaga gereja menjadi suatu hal yang negatif jika dilakukan di luar proporsinya.
Siapa yang membahayakan Gereja?
Gereja dijaga karena dianggap dalam keadaan berbahaya dari ancaman pihak luar. Siapa pihak luar? Mari kita jujur, umat Islam adalah mayoritas di negeri ini, jadi menjaga gereja boleh diartikan mencurigai Islam sebagai biang keladi yang bikin berbahaya. Benarkah demikian?
Mari kita bongkar sterotype dan stigma negatif yang selalu di hembuskan pada umat Islam. Celakanya jika kita ulas tuduhan stigma ini, kita akan diberi stigma lanjutan, yaitu tidak Pancasilais, anti NKRI, anti bhinneka dsb. Mari kita jujur pada diri sendiri bahwa stigma negatif itu memang dibangun untuk membatasi dan mengebiri potensi umat Islam.
Aksi damai jutaan orang di acara 212 sepertinya tidak mampu melepas stigma negatif bahwa umat Islam digambarkan garang dan tidak toleran. Bukan apresiasi yang didapat dari aksi damai yang sebetulnya protes damai atas ketidakadilan yang dirasakan umat. Tetapi tetangga sebelah justru sibuk mencaci maki, memfitnah dan mengkerdilkannya. Mulai dari isu makar, penyusupan di acara reuni 212 dengan berpura pura memakai busana muslimah, sampai menyebut jumlahnya hanya 40 ribu orang.
Aksi agresif tetangga sebelah ini tentu saja sangat provokatif, tetapi "para penjaga gereja" itu justru yang banyak mengipasi dengah ledekan monaslimin dsb. Kenapa "para penjaga gereja" itu tidak menjaga reuni 212 dari aksi provokatif tetangga sebelah?
Ustad Abdul Somad juga perlu dijaga
Berdakwah, mengajak kebaikan adalah hal yang harusnya diapresiasi. UAS tidak pernah mengajak bikin huru hara, kerusuhan atau perang. Tetapi beliau secara tidak adil dihadang dan dicekal saat akan menemuhi jamaahnya, dia tidak secara serampangan dakwah. Bandingkan dengan tetangga sebelah yang secara terang terangan memanipulasi orang lain di acara Car Free Day tanpa peduli lawan bicaranya beda agama.
Mengapa "penjaga gereja" lebih akrab dengan tetangga sebelah tetapi cenderung memungsuhi saudara seukhuwah? Jika memang ada tujuan - tujuan lain di bidang ekonomi dan politik, apakah itu tidak justru mengecilkan diri mereka sendiri? Memposisikan diri sebagai subordinat kelompok lain secara permanen.