Lihat ke Halaman Asli

Memberantas Terorisme Berjubah Agama

Diperbarui: 30 Mei 2018   05:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

INDONESIA pernah dijuluki negeri Islam yang ramah (the smiling moslem) oleh banyak pengamat asing. Ini karena karakter pemeluk Islam di sini berbeda dari kaum muslim di Timur Tengah dan Asia Selatan. Jika wajah Islam di Timteng dan Asia Selatan (Pakistan, Afghanistan) lekat dengan ekspresi “Islam yang marah”, bahkan sering identik dengan stigma "Islamic Bomb", sebaliknya wajah muslim Indonesia murah senyum, toleran, dan ramah. Tak mengherankan bila para pengamat asing terpesona dengan fenomena khas itu. Bahkan, saking kagumnya, intelektual Muslim terkemuka Pakistan, Profesor Fazlur Rahman, pernah meramalkan bahwa peradaban muslim masa depan akan muncul dari Asia Tenggara, Indonesia khususnya. Namun, harapan profesor yang pernah menjadi guru Nurcholish Madjid, Amien Rais, dan Ahmad Sjafii Maarif, itu boleh jadi kini agak buram. Terutama sejak suksesnya gerakan reformasi menggilas rezim otoriter Orde Baru. Karena sejak itulah, di negeri yang semula rukun dan damai ini, muncul gerakan-gerakan Islam ekstrem atau garis keras. Bahkan, sebagian di antara gerakan-gerakan itu tak hanya keras dalam arti gagasannya (radikal),  tapi ada pula yang keras dalam tindakannya. Jenis terakhir rajin meneror kesadaran publik dengan aksi-aksi vandalisme, anarkisme, dan terorismenya. Munculnya gerakan Islam garis keras bak jamur di musim hujan ini kiranya layak disebut "musibah" di balik "berkah" reformasi. Gerakan-gerakan Islam ekstrem tersebut, dalam disertasi Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, disebut "Gerakan Islam Syariat". Sementara tim peneliti the Wahid Institute menamai "Islam Transnasional" . Maksud terminologi "Islam Syariat": gerakan yang orientasi utamanya ingin menegakkan syariat Islam di wilayah Indonesia, baik melalui pendirian negara Islam (kekhalifahan) maupun tidak. Sementara istilah gerakan "Islam Transnasional" mengacu jaringan mereka yang lintas negara. Infiltrasi Wahabi Semua gerakan Islam pendatang baru tersebut, menurut penelitian Haedar Nashir dalam buku Gerakan Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (2007) dan para peneliti the Wahid Institute dalam buku Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (2009), berada dalam cengkeraman pengaruh mazhab Wahabi dengan berbagai variannya. Namun demikian, tulisan ini tidak semata-mata merujuk buku-buku ini, melainkan sebagian besar lebih merupakan hasil penelitian akademis saya sendiri. Apakah mazhab atau manhaj (aliran/sekte) Wahabi itu? Mazhab ini didirikan Muhammad bin Abdul Wahab menjelang  kelahiran Kerajaan Saudi Arabia. Ide dasar Wahabi semula ideal, yakni mengembalikan umat Islam kepada pemahaman agama berdasarkan Al Quran dan Hadis saja, seraya membersihkan mereka dari praktek tahayul, bi'dah (tambahan-tambahan dalam agama), dan khurafat (adat istiadat). Dilihat dari sisi ini, kelahiran Muhammadiyah pun sedikit banyak terpengaruh ide ini. Namun dalam perkembangannya, Wahabi lama kelamaan menjadi paham ekstrem. Ekstremitas itu kian menajam usai munculnya aliansi strategis kaum Wahabi dengan Abdul Aziz bin Abdurrahman as-Saud(Ibnu Saud), pendiri Arab Saudi pada 1930-an. Walhasil Kerajaan Saudi kemudian memeluk Wahabi sebagai mazhab resmi , sementara ulama Wahabi melegitimasi keabsahan kekuasaan turun temurun Dinasti Saud. Para ulama Wahabi berfatwa bahwa selain kekhalifahan, yang merupakan sistem asli Islam –di mana khalifah dipilih oleh ahlul ahli wal aqdi (para tokoh masyarakat) dan dibaiat oleh rakyat— hanya sistem kerajaan yang sesuai syariat Islam. Tentunya fatwa ini menjadi modal legitimasi yang kuat bagi kekuasaan raja-raja Arab Saudi. Setelah beraliansi dengan penguasa absolut, brutalitas kaum Wahabi menjadi-jadi. Tak ada mazhab lain yang boleh hidup di Arab Saudi selain Wahabi. Segala yang dinilai berbau tahayul, bidah, khurafat diberantas. Praktek sufi yang dianggap dekat dengan klenik dilarang. Makam-makam dihancurkan. Bahkan hampir saja makam Nabi Muhammad akan dihancurkan karena dianggap menyebabkan praktek syirik para peziarah. Untung saja utusan NU berhasil menggagalkan rencana penghancuran makam Nabi itu. Akibat seringnya bertindak brutal, lambat laun istilah Wahabi mengalami penurunan makna. Wahabi menjadi identik atau lekat dengan citra vandalisme, kasar, kekerasan, tidak toleran, anti intelektual, dan sejenisnya. Karena itulah kaum Wahabi lalu mencoba memperbaiki citra dengan memakai kata Salafi sebagai pengganti istilah Wahabi. Selain belum mengalami degadrasi makna, secara etimologis kata Salafi juga bermakna terhormat. Sebab salaf artinya tradisional atau konservatif, ini akan membungkus fakta sesungguhnya dari mazhab Wahabi yang sejatinya pendatang baru (khalaf) dalam dunia Islam. Sementara frase salafush-shalih, sebagai asal kata salaf, artinya generasi saleh yang terdahulu. Yang dimaksud salafush-shalih ialah para sahabat Nabi Muhammad dan tiga generasi sesudah masa hidup Nabi. Maka, dengan menyebut diri Salafi, kaum Wahabi sekaligus mengklaim bahwa ajaran Islam versi merekalah yang paling sesuai teladan Nabi dan para sahabatnya serta tiga generasi Islam awal. Di luar kelompoknya sendiri, kaum Salafi/Wahabi menuduh hampir semua kelompok Islam sebagai sesat , bidah, atau minimal tak sepenuhnya ittiba' (meneladani) perilaku Nabi. Selain lekat dengan stigma biang kekerasan atau sikap kasar, nama Wahabi ditinggalkan lantaran istilah itu mengandung pengertian kultus individu terhadap Muhammad bin Abdul Wahab, sesuatu yang justru ingin dihindari oleh kaum Wahabi. Sementara dengan mengklaim sebagai Salafi, mereka ingin menunjukkan bahwa praktek keberagamaan mereka yang rigid, kaku, dan keras bukan sekadar racikan pribadi Muhammad bin Abdul Wahab, melainkan warisan orisinal dari Nabi Muhammad SAW, sahabat Nabi, dan tiga generasi setelah masa Nabi. Dengan bekal inilah kaum Salafi mengklaim bahwa praktek keberagamaannyalah yang paling orisinal atau paling benar (absolute claim of truth), sementara yang lain salah, sesat, atau minimal sudah tidak murni lagi. Ciri khas kaum Wahabi lainnya ialah klaimnya bahwa mereka tidak mengikuti mazhab Islam tertentu. Seperti diketahui, dalam ranah Islam Sunni dikenal 4 mazhab utama. Yakni Syafii, Maliki, Hanafi, dan Hambali. Syafii, seperti yang dianut warga NU paling moderat. Sementara Hambali paling keras atau kaku. Nah kembali kepada Salafi atau Wahabi. Secara resmi mereka memang mengaku tidak bermazhab dan hanya berpegang kepada Al Quran dan Hadis Nabi. Namun, jika diamati lebih mendalam, kaum Wahabi banyak merujuk ide-ide atau pendapat mazhab Hambali, yaitu aliran atau mazhab paling saklek dan keras dalam Islam. Dari sini bisa dijelaskan, mengapa penganut Wahabi atau Salafi dikenal berperangai keras, fanatik berlebihan, dan sering bertindak kasar. Ancaman NKRI Nah, dengan visi mazhab Wahabi atau Salafi yang demikian, tak mengherankan jika terorisme berlabel Islam yang berkembang pesat satu dekade terakhir, muncul dari rahimnya mazhab Wahabi atau Salafi. Di Afghanistan, misalnya, ditandai oleh sepak terjang Kaum Taliban. Di Pakistan dan Timur Tengah oleh Tanzhim Al Qaeda. Dan di Indonesia oleh Jamaah Islamiyah  atau Salafi versi Imam Samudera dkk (biasa disebut Salafi Jihadi). Mengenai kaitan Imam Samudera dengan Salafi ini antara lain dapat dilihat melalui buku yang dia tulis: Aku Melawan Teroris! Memang tak semua pengikut Salafi membenarkan terorisme atau bom bunuh diri, ini misalnya diwakili Salafi pimpinan Ustad Ja’far Umar Thalib, mantan Panglima Laskar Jihad. Akan tetapi dalam spektrum pemahaman agamanya, sejatinya mereka tak jauh beda: kaku, keras, dan merasa paling benar sendiri. Mereka juga sama-sama antitradisi, antiintelektual, antipluralisme, antinegara-kebangsaan (nation-state), dan mengharamkan demokrasi. Karena itu, saya memprediksi, cepat atau lambat dominasi mazhab Wahabi di kalangan umat Islam Indonesia akan merupakan ancaman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Baik ancaman atas eksistensi NKRI itu sendiri maupun terhadap kerukunan hidup rakyat dan kebhinekaan di Tanah Air. Dengan memahami pemaparan ini, akhirnya kita bisa mengetahui bahwa terorisme berjubah agama (Islam) mendapat legitimasi dari pemahaman tertentu dalam beragama, yaitu manhaj (aliran) Salafi (Wahabi) ekstrem. Dalam konteks ini, agama mengalami ideologisasi secara intensif, sehingga Salafi atau Wahabi versi ekstrem di sini bukan lagi sekadar aliran keyakinan, melainkan menjadi ideologi politik atau cetak-biru gerakan yang sangat radikal. Dengan pemahaman di atas, maka bisa dikatakan bahwa pemberantasan terorisme berjubah agama tidak cukup dengan menangkap gembong-gembongnya, tapi harus disertai upaya “counter-ideology” (ghazwul-fikry) dan deradikalisasi secara konsisten ke dalam basis-basis perkaderannya. Dalam hal ini counter-ideology terhadap gagasan Wahabi atau Salafi garis keras. Untuk itu, peran ulama dan cendekiawan Muslim dari NU dan Muhammadiyah yang bervisi moderat perlu dilibatkan. Penanganan terorisme yang mengandalkan pendekatan law-enforcement (penegakan hukum) semata hanya akan membuat kita frustasi. Sebab bisa sekadar hilang satu tumbuh seribu. Itulah sebabnya, selain counter ideologi, pemberantasan terorisme harus disertai upaya deradikalisasi hingga ke basis-basis kaderisasinya. Seperti Malaysia, pemerintah Indonesia harus berani menutup lembaga pendidikan atau pondok pesantren yang telah diinfiltrasi ide-ide terorisme. Jika penutupan sulit dijadikan pilihan, maka demi menyelamatkan negeri dan melindungi segenap tumpah darah dan rakyat Indonesia, pemerintah wajib mengambil alih pengelolaan lembaga pendidikan atau ponpes-ponpes yang pernah dikelola pelaku terorisme. Tanpa keberanian dan ketegasan pemerintah mengambil alih atau menutup basis-basis kaderisasi terorisme, sama saja bangsa ini sedang menunggu meletusnya bom waktu. Tak mustahil 20 atau 50 tahun ke depan, Bumi Pertiwi yang menjadi rumah bersama kita ini, akan menjadi ajang persatean kaum teroris, seperti Pakistan dan Afghanistan sekarang ini. Karena itu, pengambilalihan institusi-institusi yang diduga kuat menjadi basis kaderisasi generasi penerus teroris harus disertai dengan menata ulang kurikulum dan staf pengajarnya. Mereka yang berpandangan membenarkan tindak terorisme wajib dicoret. Seiring dengan itu, upaya deradikalisasi kepada para mantan terpidana teroris yang sudah bebas dari hukuman penjara harus pula dilakukan secara terpadu dan serius. Dalam hal ini, seperti kerap diutarakan Brigjen Pol (Purn) Suryadharma Salim (mantan Kepala Densus 88), termasuk pembinaan dan bantuan ekonomi bagi keluarga mantan terpidana teroris agar tidak kembali terekrut oleh jaringan lama mereka. Tanpa upaya serius dan sinergis yang terpadu tadi, maka pemberantasan teroris dengan penegakan hukum saja boleh dibilang hanya menunda kekalahan, dan tak akan mampu memberantas gerakan terorisme secara tuntas hingga ke akar-akarnya. [] Jakarta, 2010.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline