Lihat ke Halaman Asli

Sang Pencerah, Bangga Jadi Warga Muhammadiyah...

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_253482" align="alignleft" width="180" caption="KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah (foto: pahlawan-nasional.blogspot.com)"][/caption]

Mulai 8 September 2010 ini, secara serentak diputar film Sang Pencerah di berbagai gedung bioskop di Tanah Air. Film besutan sutradara muda, Hanung Bramantyo, ini berkisah ihwal perjalanan hidup KH Ahmad Dahlan, pahlawan nasional sekaligus pendiri organisasi dakwah Islam modernis, Muhammadiyah, pada 1912.

Sebagai salah satu produk sekolah Muhammadiyah, tentunya saya sangat senang mendengar kabar tersebut, walaupun hingga tulisan ini saya buat, saya belum sempat ikut menonton filmnya.

Sementara itu, belum lama ini Muhammadiyah melaksanakan muktamar sekaligus perayaan miladnya yang ke-100 tahun di Yogyakarta. Itulah sebabnya, muktamar tersebut juga dinamai Muktamar Satu Abad Muhammadiyah.

Mengamati perkembangan Muhammadiyah dua dekade terakhir ini, terus terang saya makin bangga dengan keberadaan dan kiprah ormas Islam berlambang matahari terbit ini. Saya juga semakin percaya diri untuk berani secara terbuka mengaku sebagai warga atau kader Muhammadiyah.

[caption id="attachment_253472" align="alignright" width="215" caption="Lambang Persyarikatan Muhammadiyah (foto: primaironline.com)"][/caption]

Menurut saya, Muhammadiyah pada usia seabadnya sekarang ini semakin memperlihatkan perkembangan yang sangat menggembirakan, sekaligus membanggakan. Ada beberapa faktor penting yang membuat saya tidak ragu memberi penilaian itu. Yakni antara lain:

Pertama, dilihat dari amal usaha atau sumbangsihnya bagi Tanah Air dan bangsa. Dalam hal ini, peran Muhammadiyah semakin tertata manajemen organisasinya, semakin merata ke seluruh penjuru negeri, dan semakin merambah ke segala sektor, meski yang dominan tetap saja sektor pendidikan dan kesehatan.

Kedua, dari segi visi dan misinya, Muhammadiyah semakin matang dan dewasa. Pada masa kelahirannya, boleh jadi kehadiran Muhammadiyah lebih bersifat reaksioner atas kondisi keumatan waktu itu, khususnya terkait dengan kejumudan (stagnasi) berpikir umat dan dominasi penguasa kolonial atas umat Islam.

Sekarang Muhammadiyah bukan lagi gerakan reaksioner, melainkan bersama Nahdlatul Ulama (NU), menjadi salah satu kekuatan utama civil society Indonesia, yang secara pro-aktif mempromosikan keadilan dan kesetaraan, supremasi hukum, penghormatan HAM, toleransi, dan demokrasi bagi seluruh warga negara tanpa pandang bulu.

Perkembangan ini membuat Muhammadiyah meraih respek dari kalangan NU maupun umat beragama dari luar Islam. Hal ini mendorong posisi Muhammadiyah, pelan tapi pasti, tidak lagi dipersepsikan sebagai ancaman, melainkan pengayom atau minimal kawan berjalan seiring.

[caption id="attachment_253512" align="alignleft" width="300" caption="Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin (foto: mklh-aisyiyah-sumut.blogspot.com)."][/caption]

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin, bahkan memprakarsai terbentuknya Dewan Antaragama (Inter-Religious Council/IRC) Indonesia pada bulan Januari 2010 dan dipercaya menjadi Ketua Presidium IRC yang pertama. Dewan ini beranggotakan para pemuka agama di Indonesia yakni Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Di dalamnya juga terdapat dua unsur organisasi kemasyarakatan Islam, yakni NU dan Muhammadiyah.

Ketiga, secara organisatoris Muhammadiyah semakin konsisten menjaga sikap nonpartisannya. Ini bukan berarti Muhammadiyah bersifat nonpolitis. Muhammadiyah tetap berpolitik, tetapi politiknya Muhammadiyah adalah politik amar ma'ruf nahy munkar (mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan). Atau, meminjam istilah mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, M. Amin Rais, Muhammadiyah berpolitik dalam level "high politics" (politik adiluhung). Yakni bukan politik praktis atau politik kepartaian (day to day politics), melainkan politik moral atau politik kenegaraan.

Konsistensi sikap nonpartisan Muhammadiyah ini membawa perkembangan menggembirakan. Muhammadiyah ibaratnya menjadi tidak lagi memiliki musuh politik, kecuali para koruptor dan teroris yang mengoyak masa depan bangsa. Sebaliknya, nyaris semua kekuatan politik partisan justru ingin mendekat kepada Muhammadiyah.

Bagi para kader Muhammadiyah, hal ini juga positif karena mereka dapat berkiprah di mana saja sepanjang tujuan atau ideologi partai tersebut tidak bertabrakan dengan cita-cita mulia Muhammadiyah untuk menegakkan masyarakat utama yang diridhai Allah di bumi Indonesia.

Keempat, keterbukaan Muhammadiyah kepada gagasan-gagasan baru maupun warisan lama Islam, semakin mendekatkan kiprahnya dengan kaum muda masa kini yang lebih progresif pemikiran keislamannya maupun dengan kalangan NU.

Dalam perkembangannya kemudian, sangat menarik menyaksikan tidak sedikit warga Muhammadiyah yang gemar memakai sarung, salawatan, atau tahlilan dan yasinan: beberapa ciri kultural yang sebelumnya dikenal sebagai gaya khas warga NU.

Warga Muhammadiyah pun tidak lagi alergi bersembahyang di masjid-masjid NU, bahkan juga mengirim anak-anaknya untuk belajar agama di pondok pesantren NU. Sebaliknya pun demikian, warga NU tidak ragu lagi menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Muhammadiyah atau memiliki menantu dari kalangan Muhammadiyah.

Ada proses saling mempengaruhi, take and give, yang sangat positif dan menarik antara dua jamaah diniyah (ormas agama) terbesar di Tanah Air ini.

Karena itu tak mengherankan, belakangan muncul sosok-sosok konvergensi NU dan Muhammadiyah seperti Moeslim Abdurrahman dan Mohammad Sobary (dua cendekiawan Muhammadiyah yang dipandang "sangat" NU).

Saya sendiri termasuk yang memandang diri sebagai "Munu" (Muhammadiyah yang NU), karena meski diri saya produk Muhammadiyah, tapi perjalanan hidup saya membuat saya sangat apresiatif terhadap NU, termasuk pernah menjadi takmir masjid NU.

Bahkan perkembangan terakhir, saya tidak sekadar "Munu", tetapi juga "Manut" (Muhammadiyah, NU, dan Tarbiyah), karena persentuhan saya dengan Jamaah Tarbiyah (JT). Namun fenomena JT agak berbeda dengan NU dan Muhammadiyah, lantaran JT punya sayap politik PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Walhasil, sebagai simpatisan JT yang berkiprah di luar PKS, dengan sendirinya saya akan ditahbiskan sebagai bughot (pembangkang) atau minimal out group.

Ini lantaran JT menganut prinsip wal jamaah huwal hizb, wal hizb huwal jamaah (jamaah sama dengan partai dan partai sama dengan jamaah). Dengan kata lain, JT identik dengan PKS dan PKS identik dengan JT. Walaupun belum tentu seorang pegiat JT menjadi aktivis PKS, tetapi bisa diduga referensi politiknya adalah PKS. Jadi, berbeda dengan NU dan Muhammadiyah yang nonpartisan.

Sementara di Muhammadiyah, dengan tanpa beban Amien Rais bisa mengatakan sebagai kader Muhammadiyah di PAN (Partai Amanat Nasional) atau Hajriyanto Tohari mengatakan kader Muhammadiyah di Partai Golkar, dan seterusnya. Bahkan, Moeslim Abdurrahman malah berkecimpung di PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang secara historis dan kultural lebih dekat kepada NU. Dan, walaupun di partai yang berbeda, mereka tidak akan dinilai pembangkang oleh Muhammadiyah.

Justru kalangan yang masih mau mencoba-coba membawa Muhammadiyah ke dalam politik praktis akan disebut pembangkang, karena mengkhianati khittah (visi) Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan yang tidak berpolitik praktis tadi.

Inilah yang menjelaskan, mengapa pada Pemilu 2009 nyaris tak ada friksi antara Muhammadiyah dan NU atau partai-partai lain, tapi muncul sejumlah kasus rebutan masjid dan atau jamaah antara aktivis Muhammadiyah dan JT di sejumlah tempat. Mengapa?

Sebab, meski secara faktual warga Muhammadiyah lebih dekat kepada PAN karena alasan historis maupun kesamaan beberapa tokohnya, tak ada keharusan bagi warga Muhammadiyah mendukung PAN. Sehingga masjid atau kegiatan keagamaan Muhammadiyah tetap netral secara politik.

Ini menjadi berbeda ketika masjid atau suatu kegiatan dakwah Muhammadiyah telah didominasi warga JT, maka langsung akan kentara bahwa secara politik diarahkan untuk berkiblat kepada PKS, sesuai prinsip wal jamaah huwal hizb, wal hizb huwal jamaah. Dan model mobilisasi dukungan bagi PKS melalui amal usaha Muhammadiyah beginilah yang kemudian mendapat resistensi kuat dari warga Muhammadiyah. [] Jakarta, 8 September 2010.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline