[caption id="attachment_149244" align="alignleft" width="300" caption="simbol blackberry dalam bentuk tato (foto:cdn.berryreview.com)"][/caption] AWALNYA saya tidak terlalu berminat membeli handset Blackberry. Sebab saya berprinsip, sebuah handphone (HP) yang terpenting ialah fungsi utamanya untuk menelpon, bukan fasilitas-fasilitas tambahannya. Maka, HP dengan fasilitas bisa mengirim dan menerima sms saja sudah cukup bagi saya. Toh jika saya ingin berbagi foto, misalnya, saya bisa menggunakan laptop dengan tampilan layar yang lebih mumpuni. Demikian pula jika saya ingin mengirim atau mengecek email. Sementara untuk kamera, saya berencana membeli kamera digital SLR, sekaligus untuk memenuhi hobi saya berburu foto. Itulah mengapa saya setia memakai Nokia berlayar monokrom selama bertahun-tahun. Saya baru berpisah dengan HP pertama saya ini setelah ia hilang, gara-gara tertinggal di kursi bus Trans Bintaro yang saya tumpangi. "Syukurin ilang, HP jadul gitu masih dipakai," komentar teman saya sekantor. Saya menganggap wajar komentar teman ini, meski suka tertawa geli jika mengingatnya. Wajar, karena dibandingkan umumnya HP teman-teman saya, HP saya memang betul-betul "jaman dulu banget". Tidak ada kameranya, tak bisa untuk kirim foto atau MMS, tak ada fasilitas GPRS, bodinya gendut lagi. Sudah begitu, layar hitam putihnya cuma mengingatkan pada film-film "tempo doeloe" atau televisi "zaman baheula". Jadi ya wajar jika teman-teman sekantor saya yang gemar gadget trendi menjadi keki. Walhasil karena HP hilang, saya pun terpaksa membeli HP baru. Kali ini saya membeli Nokia dengan layar yang sudah full color. Lumayanlah, sebab jika mau keras kepala membeli HP sejadul yang hilang, barangnya juga sudah tidak diproduksi lagi, hahaha. Eh, saya pikir sudah canggih, ternyata HP baru saya ini pun masih jadi bahan olok-olok teman-teman kerja saya. Maklum, biarpun layarnya telah berwarna dan bodinya lebih slim, tapi HP saya tetap saja hanya bisa untuk bertelepon-ria sembari sesekali berkirim sms. Satu-satunya fasilitas tambahan yang bisa dibanggakan di HP baru saya adalah radio FM yang terintegrasi di dalamnya. Sehingga jika merebahkan badan di ranjang, kuping saya bisa sambil mendengarkan penyiar nyerocos atau lagu-lagu sendu mendayu-dayu. Di luar itu, jika listrik tiba-tiba mati pada malam hari, saya tak perlu lagi terhuyung menabrak meja-kursi, karena ada fungsi senter di dalam HP baru saya ini. Namun, seperti saya bilang tadi, tetap saja HP baru yang sudah saya kategorikan berkualitas plus-plus itu (plus radio FM dan senter maksudnya, hehe) masih jadi bahan ejekan teman saya. "Staf ahli kok HP-nya jadul," begitu katanya berulang-ulang. Migrasi ke Blackberry Jangankan HP jadul saya tadi, seiring berjalannya waktu, bahkan HP secanggih Nokia seri "Communicator" pun kini juga mulai dinilai jadul, atau minimal kurang dianggap bergengsi lagi. Seri "smartphone" serba bisa sekelas Blackberry atau Iphone-lah yang akhirnya dianggap produk paling seksi dan menjadi semacam ikon atau simbol status baru. Maka bisa diduga, saya pun terus menerus diprovokasi rekan-rekan sekerja untuk migrasi dari HP jadul saya ke Blackberry. Setelah diiming-imingi fasilitas pembelian dengan sistem cicilan tanpa bunga segala, akhirnya saya pun terpengaruh. Saya penasaran dan tertarik ikut menjajal kemampuan gadget yang acap disebut komputer mini itu. Nah, awal-awal memakai Blackberry, nyaris saban hari saya jadi bahan tertawaan teman dan keponakan. Penyebabnya, karena saya suka ngomel-ngomel sendiri; menyesali telah telanjur membeli gadget impor dari Kanada ini. "Keyboard QWERTY-nya yang meniru komputer malah merepotkan. Papan ketiknya terlalu kecil sehingga jari saya sulit memencet tombol huruf dengan cepat," kata saya. Mendengar alasan saya itu, keponakan saya yang berjenis kelamin perempuan terbahak-bahak. Sebab jemari dia lentik dan mungil, jadi "matching" dengan papan ketik Blackberry yang berukuran mini. "Tapi kesulitan om itu mungkin karena belum terbiasa memakai Blackberry saja," katanya, mencoba menghibur. "Bisa jadi," kata saya. "Sebab tiap kali kita mengunakan peralatan baru memang butuh waktu adaptasi tertentu." BERSAMBUNG ke Asyiknya Menulis Via Blackberry (2).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H