Lihat ke Halaman Asli

Pedang Ketujuh di Leher Aisah

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_116422" align="alignright" width="300" caption="(gambar: lawakantentanghidup.wordpress.com)"][/caption] Di ruangan yang ia tak bisa lagi memilah siang dan malam, sebelumnya Aisah hanya bisa menyulam gelap. Waktu adalah ladang yang meranggas dalam ingatannya. Tiba-tiba terdengar bunyi berderit, suara pintu besi berkarat. Dan seorang lelaki berdiri, dengan kerudung kain hitam. Sedingin dinding batu. Cahaya lindap dari balik punggung menegaskan kilatan mata pedang di tangannya. Mata lelaki itu tak semerah mata malaikat maut, juga tak setajam tatapan singa yang menagih dendam. Namun Aisah tahu, tak ada gurat iba di balik kerudung itu. “Jangan takut, aku hanya menjalankan perintah Tuhan,” ia bergumam, ampang, seperti desau angin gurun yang lewat. Aisah tetap menggigil di sudut tergelap. “Sebutlah nama Tuhanmu, Ia akan mengampunimu,” bagi lelaki itu kematian hanyalah ketakutan bocah pada jarum suntik. Kemudian tangan kokoh itu membuat Aisah berlutut. Menunduk. Seuntai borgol menjadikan pergelangan tangannya terasa beku. Lantas kerudung yang sama namun tanpa celah di bagian mata, membungkus kepalanya. Meski tak bisa melihat, Aisah bisa merasakan saat pedang itu mengacung ke langit, seakan ingin menyerap segala kekuatan alam. Lalu terayun ke tengkuknya dengan kecepatan bunga kilat. “Tuhan, kenapa!” menghimpun sisa-sisa kekuatan Aisah meraung, tapi tak terdengar seperti doa. Entah dengan kekuatan apa, Aisah merontokkan borgol. Kedua tangannya sekuat tenaga menahan kepala agar tak menggelinding ke tanah. Ia ingin bertahan. Salahsatu tangannya mengusap darah yang terasa membanjir di leher. Tapi… Tak ada darah di leher. Bahkan tak segores luka pun teraba. Tak ada lelaki berkerudung, juga ruang gelap itu. Aisah tersengal-sengal di tempat tidur, di kamarnya, di rumah majikannya. Ini mimpi yang sama, yang datang ketujuh kalinya. Adakah mimpi itu berkait dengan niatan majikan lelakinya yang telah tujuh kali berupaya menyebadaninya? Aisah tak tahu. Setiap mimpi itu terulang, Aisah selalu teringat pesan ibunya di kampung, “Kesucian itu bukan hanya kehormatan, tapi juga nyawa bagi gadis sepertimu. Jagalah dengan seluruh daya, raga dan jiwamu”. Aisah meraba ke balik bantal. Sebilah pisau ia genggam dengan erat. Benda itu telah tujuh kali menyelamatkan dirinya dari pemaksaan si majikan. Tapi ia tahu, mimpi itu belum berakhir. Lelaki berkerudung hitam, ruang gelap dan pedang berkilat itu, pasti akan datang lagi. Bahkan mungkin tak hanya dalam mimpi.(*) Jakarta, Juni 2011 "Sefiktif apapun flash fiction, 'ia' adalah hasil refleksi dari kenyataan. Senyata apapun sebuah flash fiction, 'ia' tetaplah sebuah fiksi." Catatan: Ilustrasi tahapan eksekusi terinspirasi oleh wawancara dengan eksekutor yang pernah ditayangkan LBO TV serta artikel yang dimuat dalam media Al Majalla dan Arab News.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline