Lihat ke Halaman Asli

Airmata Darah di Pelupuk Fajar

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_112983" align="alignright" width="231" caption=" (gambar: 4.bp.blogspot.com)"][/caption] Pada langkah kesekian aku mengejarmu, kau berhenti. Lantas berbalik menatapku,  setajam tombak yang menikam kedalaman mata. Pada jarak sehembus nafas kau berbisik, “Apakah yang kita lakukan hanya sebuah permainan?” Ah kau selalu melepas pertanyaan yang tak mudah, serupa panah Jara yang menyobek akal sehat dengan tiba-tiba. “Jikapun ini permainan, kita telah mempertaruhkan seluruh jiwa,” kataku sembari menyisir embun yang tak juga tiba. Tawamu berderai bersama kelopak kamboja yang rontok ke tanah lembab. Lalu kau kembali berlarian seperti tarian Kijang Kencana. Hingga di ujung liarmu kau kembali menyergapku, “Siapakah sesungguhnya kita?” Kita? Aku selalu kelu lidah untuk pertanyaanmu yang bersahaja. “Kita adalah dua sungai nanah yang bertemu di muara kelam,” kataku akhirnya. “Bukan, kita bukan sungai. Kita sepasang serigala yang saling menjilat luka tersayat dari padang belukar yang kita tinggalkan,” kau jawab sendiri tanya itu. Aku tersenyum sembari menghirup getir udara beku. Dan kau kembali bertanya, “Tapi kenapa matahari, awan dan bunga-bunga tak menyukai pertemuan kita?” “Karena yang kita sembunyikan dalam gelap tak butuh cahaya, tak memerlukan make up, dusta dan kemunafikan,” aku menegas. Lalu airmata itu, dan senyum yang terlampau cepat patah. Kemudian kita diam, terus diam. Hingga kabut beranjak, tanpa meninggalkan jejak embun di bulu matamu. “Subuh akan kembali merampas perjumpaan kita. Dan kita tak pernah yakin, akankah kita bertemu lagi di ujung senja,” tangismu menikam sepi. Udara tiba-tiba memberat, seperti residu kopi yang pekat. Malam menua. Tapi harus aku katakan, “Kita telah melakukan yang layak kita kenang, yang kita sembunyikan dari segala terang. Mengais yang indah dari yang gelap dan rasa sakit. Hingga matahari tak lagi terbit untuk kita berdua”. “Lalu?” “Kita harus mengakhiri yang memang harus berakhir. Agar senja kembali menemukan jalan berpulang, dan bintang-bintang tetap mekar di horisonnya”. “Maksudmu?” Dengan kecepatan tangan seorang lelaki pengembara kugenggamkan telapakmu pada tangkai pisau di pinggangku. Dalam kilatan detik yang tak terkejar benakmu, kuhunjamkan pisau itu ke jantungku. “Ragaku akan musnah, tetapi jiwaku tak akan pergi dari hatimu,” bisikku dalam hembusan nafas terakhir. Dengan kesadaran yang tersisa aku melihatmu meratap. Lalu fajar bangkit dengan airmata darah di pelupuk matanya. Jakarta, Meret 2011 “Sefiktif apapun flash fiction, ‘ia’ adalah hasil refleksi dari kenyataan. Senyata apapun sebuah flash fiction, ‘ia’ tetaplah sebuah fiksi.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline