Lihat ke Halaman Asli

Lelaki di Depan Pintu

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Lelaki itu, dengan tubuh melumut dan darah nyaris beku, terus bertahan seperti endapan waktu yang membatu. Ia berdiri dengan ketenangan arca Syiwa, yang bergeming didera abad-abad.

Lelaki itu telah melewati perjalanan yang begitu jauh. Mengayuh jejak dari batas langit, mengatasi ketinggian bukit dan kedalaman ngarai, menyibak musim demi musim, untuk sampai di depan rumah tua itu.

Sebagai pengembara ia mempunyai banyak arah, namun untuk berpulang ia tak memiliki banyak pilihan. “Hanya di satu pintu langkah bermula dan berpulang,” tulisnya di sebuah batu, di lembah yang tak mungkin ia ingat kembali.

Lalu ketika jejaknya telah sampai pada pelataran kecil yang dia rindukan, kakinya seperti terpancang di atas tanah. Rumah itu, dengan serumpun bakung dan anyelir yang masih sama dengan saat ia tinggalkan. Tetapi pintunya telah menjadi kusam dan berdebu, seperti peti tua di sudut gudang yang telah menahun dan berkarat.

Lelaki itu terus berdiri, dan tetap berdiri, membiarkan dirinya didera angin senja dan kabut malam. Lantas ketika pintu itu membuka, berderak seperti batang Angsana yang sempal, wajahnya masih bergeming.

“Kemana saja kau selama ini?” suara perempuan dari dalam.

Lelaki itu tak menjawab. Diam. Mungkin ia tak lagi sanggup berkata-kata. Kemudian perempuan itu menghilang kembali. Tanpa meninggalkan bayangan, kecuali celah pintu dengan cahaya semburat.

“Masuklah, kau terlalu lama berdiri di situ,” bisik angin yang menyelinap di antara dahan Kemuning. “Atau pergilah jika tak ada yang bisa kau tunggu. Atau kalau kau ingin mati, matilah di tempat lain yang bersedia mengenangmu”.

Ia tetap bergeming. Kali ini benar-benar diam. Nafasnya tak lagi menghembus kabut. kemudian jatuh dengan lutut pecah, dan kepala tertunduk layu.

Selembar kertas terlepas dari genggamnya.  “I sit here on the stairs. 'Cause I'd rather be alone. If I can't have you right now, I'll wait, Dear. Sometimes, I get so tense. But I can't speed up the time. But you know, Love, there's one more thing to consider.”

Itu hanya syair lagu. Tak lebih dari sebuah lagu.

Hotel Duta Wisata-Guci, 21 Mei 2011 “Sefiktif apapun flash fiction, ‘ia’ adalah hasil refleksi dari kenyataan. Senyata apapun sebuah flash fiction, ‘ia’ tetaplah sebuah fiksi.”

Catatan: Syair dalam alinea ke-10  flash fiction ini adalah lirik lagu “Patience”, Guns N’ Roses.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline