Lihat ke Halaman Asli

Kartini yang (Tak Sungguh-sungguh) Kita Kenal

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12930257961968613036

[caption id="attachment_81235" align="alignright" width="300" caption="Kartini"][/caption]

(Catatan untuk Refleksi Hari Ibu)

Setelah begitu marak peringatan Hari Ibu yang dihelat dari kantor pemerintahan, sekolahan hingga layar facebook, lantas apa yang kita ketahui tentang sejarah Hari Ibu. Kita mencatat, pangkal peringatan Hari Ibu adalah Kongres Wanita pertama yg digelar di Jogjakarta, 82 tahun silam. Syahdan inspirasi para perempuan itu bersekutu adalah jejak langkah sejumlah perempuan lain pada rentang masa sebelumnya. Dan yang utama adalah Kartini, perempuan ningrat berwajah sendu (seperti lukisan dalam buku sejarah kita) yang terlahir di balik beteng Kabupaten Jepara.

Pertanyaan yang segera menyergap benak kita, benarkah kita telah bersungguh-sungguh mengenal Kartini? Barangkali kini kita (dan anak-anak perempuan kita) tetap tak banyak tahu tentangnya, kecuali hanya dalam selintas kisah yang terbaca dalam buku pelajaran sejarah. Atau dalam sepatah ode yang digubah WR Supratman. Atau dalam lukisan wajah keibuan dan melankolis yang kita ingat terpajang di dinding kelas.

Hari ini, seperti Hari Kartini yang kita peringati 8 bulan lalu, peringatan tentang tekad luhur para perempuan ini kita lalui nyaris tanpa interupsi: bahwa kesemarakan lomba memasak, juga lomba mematut diri dengan kebaya, dan lomba merias wajah, sesungguhnya adalah sebuah ironi. Kita tidak tahu, misalnya,apa hubungan lomba memasak dengan gagasan yang anggun namun juga lantang, seperti yang tertulis dalam buku “Habis Gelap, Terbitlah Terang”, buku yang kita hafal judulnya namun mungkin belum pernah kita lihat wujudnya.

“Door Duisternis Tot Licht”, kumpulan surat Kartini yang dibukukan JH Abendanon (yang kemudian diterjemahkan dan diringkas Armijn Pane dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang”), betapapun dirangkai dalam lirik prosa dan penuh metafora, namun esensi surat-surat ini sebenar-benarnya adalah gugatan yang teramat lantang. Tidak saja untuk ukuran seorang perempuan dan ningrat Jawa, namun juga bagi sepenggal jaman yang baru belajar bersentuhan dengan peradaban aufklarung.

“Ya, namaku hanya Kartini. Sebab itu, panggillah aku Kartini saja, tanpa gelar dan tanpa sebutan”. Kartini menuliskan itu dalam surat yang ia tujukan pada Rossa Abendanon, bertanggal 25 Mei 1899. Kita telah mendengar banyak kisah para menak yang menanggalkan atribut kebangsawanannya dan menggugat privilege kaum sendiri. Namun kita tetap tak bisa menepis rasa takjub ketika penggugat itu adalah seorang perempuan remaja yang melakukannya dari balik beteng pelindung feodalisme Jawa. Sastrawan Pramudya Ananta Toer yang terpukau oleh penggalan surat itu, kelak mengambilnya sebagai tajuk bukunya, ”Panggil Aku Kartini Saja”.

Dalam banyak patahan surat Kartini yang lain, kita membaca gugatan memanjang. Ketika kekuasaan masih tegas bermatrakan agama ageming aji (pemerintahan berdasar tatanan keagamaan), Kartini telah bersuara garang pada interpretasi agama yang menjadi selubung hegemoni bagi kekuasaan kaum lelaki, dan juga kaum ningrat. Agama, tulis Kartini,menjaga manusia dari perbuatan dosa, namun (pada kenyataannya) berapa banyak kesalahan yang dilakukan manusia dengan mengatasnamakan agama.

Lalu tentang penistaan para lelaki terhadap kaumnya, pada penggalan surat yang dikirimkannya pada Van Kol, Agustus 2001, Kartini menuliskan, ”Supaya bebas dari hidup yang demikian, hanya satu ikhtiar yang ada, yaitu merebut bagi dirinya kehidupan yang bebas”. Tulisan ini memang terlampau menyentak untuk ukuran perempuan pribumi di masanya. Namun kita juga mahfum, bagi seorang gadis yang pernah diasingkan dalam pingitan selama empat tahun, sesungguhnya ia tak terlampau berlebihan. Dan apa yang disebutnya ’merebut hidup bebas’ sejatinya ’hanyalah’ ikhtiar meraih pendidikan.

Kartini, kita mencatat, menggemakan berlembar-lembar gagasan itu dalam hidupnya yang singkat. Kematiannya yang hanya berselang empat hari setelah kelahiran putranya pada 17 September 1904, tak hanya melengkapi ironi hidup dan harapannya, namun juga menegaskan tragedi nasib perempuan di jamannya. Toh dalam kisahnya yang pendek dan sedih itu, kita mesti memaklumkan kemegahangagasan dan kegemilangan cita-citanya. Yang bahkan telah ia ungkapkan jauh hari sebelum para feminis: Fatima Mernizzi, Nawaw el Sadhawi, Helena Cixous maupun Betty Friedan menyatakan sikapnya.

”Tujuan usaha kami ada dua maksudnya, ialah turut berusaha memajukan bangsa kami, dan merintis jalan bagi saudara-saudara kami perempuan, menuju arah keadaan yang hak berdasarkan kemanusiaan. Didiklah perempuan-perempuan Jawa itu, mencerdaskannya dan membangkitkannya dari lembah”. Kartini menulis itu pada 1901, ketika fajar abad modern belum sempurna merekah di bumi kita, ketika Soekarno -- lelaki yang kemudian memproklamirkan republik ini -- belum kering tali pusarnya, dan ketika kata ’Indonesia’ belum merujuk pada satu entitas kesadaran.

Beberapa saat kemudian, Van Deventer membacanya, tergugah dan menjadikan pemikiran Kartini sebagai inspirasi. Lantas politik etis dibentangkan, dan sejarah Indonesia memasuki babak baru. Untuk semua yang gemilang itu, lantas apa hubungannya dengan peragaan kebaya dan lomba memasak?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline