Lihat ke Halaman Asli

Gerimis di Kurusetra

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_281761" align="alignright" width="299" caption="(foto: wendragus.blogspot.com)"][/caption] Aku hampir saja melompat untuk menyelamatkannya andai Batara Yama tak melarangku. “Biarkan, Amba, bukan hakmu untuk mengubah takdir jalannya perang ini.”

Di atas mega-mega kelam yang miris, dalam uap anyir darah, di antara dewa-dewi yang bersaksi, aku jatuh berlutut ketika panah Pasopati yang melesat dari gandewa Srikandi menembus dada lelaki itu.

Ia tak mau roboh, namun Brahmastra yang dilepas Arjuna segera menjelma ratusan panah yang merajam raganya. Pangeran tua itu jatuh terguling dari kereta perang. Tetapi tatap matanya menolak menyerah pada rasa sakit yang menderanya. Setelah melewati abad yang memilukan ia tak juga berubah, selalu menunjukkan watak lelaki dalam wujudnya yang sempurna: angkuh dan tak mau mengalah.

*****

Pagi, ketika cahaya belum sepenuhnya menapak mayapada, Batara Yama, dewa kematian itu, mendatangiku. “Inilah saatnya kau perankan tugasmu, Amba. Menyatulah dalam tubuh Srikandi. Hanya kau yang bisa membuat Bhisma merelakan kekalahannya.”

“Tidak, Pukulun," tandasku tanpa rasa ragu.  "Hamba menolak tugas itu, bahkan jika harus terusir dari Swargaloka.”

“Ah Amba. Benar katamu dulu, kematian tak bisa mengakhiri yang terlanjur tumbuh dalam dirimu". Kemudian Hyang Yama berlalu. Mungkin ia kecewa.

*****

Lalu aku menyaksikan, angin mengendap, peperangan terhenti seketika. Berjuta prajurit duduk jengkeng dalam hormat yang penuh, juga Srikandi dan Arjuna. Para bidadari meluruhkan tangis dan bunga-bunga. Kurusetra lengang dalam gerimis airmata. Kemudian Batara Yama menggandengku turun dari megantara.

“Tak sepantasnya pintu kematian menyiksamu, Raden. Marilah kudampingi menuju Swargaloka,” Hyang Yama pun takzim padanya.

Tetapi, “Biarkan aku melihat Baratayuda berakhir. Pukulan, agar bisa kuhayati sesakit apa pralaya yang dirasakan Amba ketika terenggut panahku,tapi tak nampak kesakitan di matanya.

“Raden, aku telah mencabut berjuta-juta nyawa, namun hanya darimu aku mengerti cinta lebih kuat dari rasa perih dan kematian,” Hyang Yama meninggalkan kami.

Lantas Bhisma berpaling padaku, “Mendekatlah padaku, Amba. Temani aku hingga usai peperangan ini. Agar bisa kueja setiap getir yang pernah kau rasakan.”

Aku letakkan kepalanya dalam pangkuanku dan kugenggam erat tangannya. “Katakan, Amba, adakah surga yang lebih indah dari hatimu”.

Aku hanya tersenyum. Untuk pertama kalinya kami rasakan keindahan ini justru di antara  anyir darah, mayat berserak dan bau kematian. Tapi aku tak peduli. Di langit para bidadari tak berhenti melantunkan paramagita untuk pertemuan kami.

Semarang, Oktober 2010“Sefiktif apapun flash fiction, ‘ia’ adalah hasil refleksi dari kenyataan. Senyata apapun sebuah flash fiction, ‘ia’ tetaplah sebuah fiksi.”

Catatan: Flash fiction ini berbeda dengan versi pakem, baik India maupun Jawa. Dalam versi Jawa,  Amba yang mencintai Bhisma justeru terbunuh tanpa sengaja oleh panah lelaki itu. Sesaat sebelum mati, Amba bersumpah, kelak dalam Perang Baratayudha rohnya akan menyatu dalam tubuh Srikandi untuk menjemput kematian Bhisma.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline