[caption id="attachment_284159" align="alignright" width="299" caption="Bhisma.(gambar: anonim/google.com)"][/caption] “Telah kulewati senja yang begitu panjang, Ibu”. Gelap memekat di Lembah Talkanda. Bisma tak bergeming. Rembulan pejam. Swilugangga tak hirau, tetap mengalirkan sunyi. "Aku taklukkan rasa sakit di setiap jejakku, namun perih adalah takdir yang menapak di sepanjang langkahku. Dan kuresapi wijana dari setiap udara yang kuhirup, tapi nafasku selalu menghembuskan cita-citayang patah. Satu per satu.” “Kurindukan masa-masa di pangkuanmu, di taman Tri Pertala, surga tempatku bertolak. Dimana setiap tangisku mengalirkan cinta yang memekarkan bunga-bunga. Dan tawaku membangkitkan rumput-rumput dari kebekuan. Lalu aku beranjak darimu, untuk mengukuhkan jejibahan. Namun ternyata manusia adalah rimba yang rumit. Oh, apalah gunanya para Wasu mengajariku kesetyaan, jika di sini prasetya hanyalah lentera kecil yang harus bertahan dari prahara nafsu dan keinginan”. “Mungkin Ibu akan bertanya, bukankah laralapa adalah laku yang harus ditempuh untuk menegakkan darma? Tapi apalah artinya darma, jika akhirnya hanya menjadi seonggok pusara yang dilupakan. Aku tahu, Ibu, setelah perang di Kurusetra itu berakhir, sejarah akan ditulis oleh Pandawa sebagai pemenang. Lantas semua darma yang aku jalani akan tertera lamat-lamat dalam syair yang digubah para winasis. Dan hanya terdengar sayup dalam kidung yang sepi”. Rumput-rumput tepian Swilugangga terkesiap. Seperti bulu kuduk meremang. Malam membeliak. Waktu berjingkat, tertahan. Tapi Bhisma tak peduli lagi. “Aku tegakkan amukti dan aku jejaki jalan brahmacarya, bukan semata-mata karena baktiku pada Santanu, lelaki yang menitiskan jiwa di tubuhku. Tapi karena aku tak ingin melihat Hastina tergenang oleh darah anak-anak sendiri. Yang akan memekat dalam dendam, dan mengeras dalam hembusan waktu. Barangkali Ibu akan kembali bertanya, jika ingin menepis sengketa bukankah aku pewaris sejati darah Bharata, satu-satunya. Tapi Ibu, persoalan kekuasaan bukan soal wadag siapa dilahirkan raga siapa, ini masalah tekad dan gegayuhan. “Siang tadi, Bunda, telah kutebas seperti pucuk-pucuk ilalang, hidup orang-orang yang tak berdendam denganku. Bahkan telah binasa di ujung panahku, Seta pahlawan Wirata yang perkasa, dalam perang tanding yang tak sekejap pun memudarkan rasa hormat. Oh Ibu, setiap kali pralaya merenggut para kesatria pinilih, nafasku selalu tertahan. Andai aku memiliki kuasa dewa-dewa, ingin rasanya memutar jantra waktu, dan menulis ulang pepesthen. Tapi untuk apa, karena dengan cara itulah mereka menuntaskan prasapa. Dan takdir telah mengering seperti rumput-rumput Kurusetra yang terlindas.” “Aku juga tahu, esok setelah terompet sangkakala ditiup, kematianku telah ditentukan. Akan kujemput panah Srikandi dengan hati yang lapang. Karena kau tahu, Ibu, tak ada lagi luka yang lebih perih dari kesungguhan hati Amba yang terenggut panahku. Kupenuhi jejibahan ini, bukan untuk kemenangan atau kekalahan, tapi demi supata Amba yang getirnya tak pernah memudar dalam setiap degup jantungku.” Bhisma beranjak. Menghirup segala duka yang memendar di alam raya. Lalu waktu tertahtih, bersaksi untuk riwayat yang tak akan tertuliskan. Jakarta, April 2010
Catatan:
1. Wijana: Kebajikan. 2. Gegayuhan: Cita-cita. 3. Jejibahan: Kewajiban. 4. Laralapa: Penderitaan. 5. Winasis: Orang bijak. 6. Amukti: Menahan diri untuk kesenangan. 7. Brahmacarya: Brahmana yang tidak menikah. 8. Pinilih: Terpilih. 9. Wadag: Tubuh, badan. 10. Jantra: Perputaran. 11. Pepesthen: Takdir. 12. Pralaya: Mati, tewas, gugur. 13. Supata: Kutukan. 14. Prasapa: Janji.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H