Lihat ke Halaman Asli

Musim Gugur di Tamsui

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_278330" align="alignright" width="248" caption="The Lover Bridge of Tamsui (foto: anonimous)"][/caption] Mungkin ia telah menungguku sepanjang sore, hingga hari di bawah musim gugur ini lenyap di garis langit. Dia pasti telah merekam detail senja itu dalam matanya. Duduk di antara tepian sungai dan jalan tua itu, sampai gelisah memadat di dadanya. Andaikata, andaikata aku tiba di Old Street ini empat jam lalu, aku yakin tak banyak kata terucap. Barangkali karena kata-kata tak lagi memiliki makna dalam pertautan raga kami, seperti cahaya yang terabaikan daun-daun di akhir musim. Kami juga tak akan hirau dengan gerimis yang bimbang menyentuh tubuh. Kami tetap diam dan menyatu. Hingga kami yakin ini bukan mimpi yang terulang. Barangkali ia akan bertanya, “Setelah ini apa yang Mas inginkan?” “Aku berharap waktu membeku dan terhenti di tepi sungai ini, dalam perasaan seperti ini,” dengan jarak badan yang tak merenggang, mungkin itulah yang aku katakan. Senja bergegas terlalu cepat di musim ini, lebih cepat dari perjalanan kami menuju dermaga Fisherman’s Wharf, tempat yang selalu ia ceritakan. Kami akan terpaku lama di atas Lover’s Bridge, di ujung muara itu. Mungkin di situ ia menanyakan kesungguhan hasrat dan cita-cita. Dan aku akan menjawabnya dengan kisah yang sering aku ceritakan, kata-kata Amba kepada Bhisma, “Yang telah tumbuh tak akan bisa berakhir, bahkan oleh kematian”. Lalu airmatanya menyempurnakan teduh musim gugur ini. Andaikata, andaikata aku tiba empat jam lalu, mungkin itulah yang akan terjadi. Namun saat aku sampai di tepi sungai itu, ia tak ada lagi di sana. Aku temukan Azalea tergeletak dalam udara yang beku. Tapi aku tak tahu, itukah bunga yang ia janjikan untukku. Ia pasti telah kembali ke Kaohsiung, kota di selatan pulau. Setelah harapan hanya mirip kilatan cahaya di seberang yang jauh. Aku rasakan tangisnya malam ini. Tapi besok ia akan tahu, setelah kepergianku siang tadi, aku tak akan pernah kembali ke Jakarta. Aku bahkan tak bisa memenuhi janji menjemputnya di Soekarno-Hatta, tiga bulan mendatang. Ia akan tahu setelah melihat televisi yang mengabarkan, sebuah pesawat terjatuh di Laut China Selatan, hilang bersama para penumpangnya. Aku salah satunya. Semarang-Jakarta, September 2010Sefiktif apapun flash fiction, ‘ia’ adalah hasil refleksi dari kenyataan. Senyata apapun sebuah flash fiction, ‘ia’ tetaplah sebuah fiksi.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline