Lihat ke Halaman Asli

Privat Room

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_276700" align="alignleft" width="300" caption="Privat room.(foto: Jarot C. Setyoko)"][/caption] Berjeda tiga gelas Chivas Regal ia datang. “Sudah lelahkah menjadi lelaki baik, sehingga kau panggil aku lagi,” bisiknya rapat ke telingaku. Aku tak menjawab. Hanya hembusan asap rokok. Tank top ketat dan rok selebar telapak tangan. Berlatar remang lampu kafe, siluet Aphrodite yang sempurna. Lantas pertanyaannya menyergap bak serigala betina, “Berapa perempuan yang kau buat merangkak selama kau tidak bersamaku?”. “Dua tahun, aku bahkan sudah lupa dengan bau keringat perempuan,” jawabku menguap bersama seteguk Chivas. “Lelaki yang malang,”  Ia tertawa seperti pemburu mengejek binatang tangkapan.  “Lalu apa yang membuatmu datang lagi ke sini? Mantan istrimu tetap menolakmu? Atau tak ada lagi perempuan yang mau menerimamu?”. Aku tak perlu menjawab. House music mengental di telinga. Beberapa gelas Margarita menjadikannya sejalang Dewi Supraba. Meliuk dalam kerlip lampu disko, ia merapat ke tubuhku yang membatu.  “Lelaki, berkompromilah dengan hatimu yang selalu ingin bebas. Akuilah takdirmu di situ”. Lalu,  “Soal setia itu konsesi antar hati. Bukan pada apa yang dilakukan, tetapi pada apa yang disepakati. Kau butuh perempuan yang tak tersakiti saat kau pergi, dan mau menerimamu saat kau kembali. Perempuan yang tak hirau kau duakan atau kau seribukan”. Ah bagaimanapun ia pernah kuliah di jurusan sastra. Dalam jarak bibir hanya sehembus bau alkohol ia kembali mendesah,  “Aku mencintaimu tanpa menuntut apapun. Dan jangan pula kau tuntut apapun dariku”. Malam menua. Sebotol Chivas membakar habis akal sehat. Entah sejak kapan aku terpuruk di privat room dengan kepala di pangkuannya. Dengan kesadaran tersisa, sayup aku dengar ia menyanyi.  “I can't live, if living is without you. I can't live, I can't give anymore”. “Without You”  Mariah Carey. Ia menangis. Aku yakin, karena ada yang menetes di keningku. “Ah, perempuan,”  hanya itu yang bisa aku katakan, mungkin tak jelas. Aku telah sekarat. Jakarta, September 2010 “Sefiktif apapun flash fiction, ‘ia’ adalah hasil refleksi dari kenyataan. Senyata apapun sebuah flash fiction, ‘ia’ tetaplah sebuah fiksi.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline