Lihat ke Halaman Asli

Khansa Sang Wanita Indonesia di Pedalaman Ghana

Diperbarui: 10 Desember 2017   21:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sigli, Aceh

"Ok, sampai jumpa disini ya, sepertinya kamu akan merasakan banyak hiburan kali ini" Suara parau khansa menyudahi pembicaraan kami melalui saluran telepon, akibat kantuk yang sedari tadi mendera, untuk sementara tak sanggup kupikirkan apa maksud ucapannya,  kembali kurebahkan diri pada tumpukan jerami di bagian belakang truk tua milik petani yang kami tumpangi.

Khansa  adalah salah satu relawan kemanusiaan pertama yang tiba di lokasi tujuan  kami,  tepat pukul 01.30 pagi  tadi aku dan 5 orang anggota timku berangkat menuju sebuah perkampungan bernama Sobi di pedalaman afrika barat.

Sobi sendiri secara yuridis merupakan suatu daerah perkampungan kecil yang menjadi bagian dari Negara Ghana, dengan jumlah penduduk sekitar  256 Jiwa yang sebagian besarnya adalah wanita dan anak-anak. Untuk menuju kesana kami harus menempuh jarak sekitar 8 jam perjalanan darat dari Accra ibu kota Ghana.

Saat ini Sobi merupakan salah satu daerah di Benua Afrika yang paling parah terdampak kekeringan akibat kemarau panjang beberapa tahun terakhir, sepanjang perjalanan kulihat sisi lain dari kehidupan dibumi, begitu gersang dan kering, seperti menatap sebuah TV tua yang hanya memancarkan dua warna, Coklat muda dan tua,warna khas tanah persawahan ketika mengering akibat terkena sinar matahari secara terus menerus.

Puluhan misi kemanusian ku ikuti dan telah kujejakkan kaki di berbagai daerah Negara terpencil yang terkena bencana, tapi belum pernah kutemui kepingan gelap sisi kehidupan yang begitu tak berkehidupan seperti di sini, bahkan sudah 6 jam perjalanan kutempuh, belum satupun juga kutemui mahluk hidup selain kami  yang berada di mobil iring-iringan pembawa bantuan, dan juga hanya ada sekelompok warga setempat yang sedang terseok-seok berjalan ditengah teriknya matahari,  tampak jelas dari raut wajahnya, bahwa mereka sedang dilanda kelaparan dan kehausan, mereka semua juga pasti sedang  berpindah menuju lokasi pengungsian akibat kekeringan parah melanda perkampungannya.

Diperjalanan juga kutemui beberapa rumah kosong, mungkin milik warga tadi, rumah yang telah di tinggalkan penghuninya itu, beratapkan dedaunan kering dengan batang pohon lapuk sebagai penyangganya,  tanpa dinding dan sekat apapun, serta hanya tanah tandus yang telah sedikit dibentuk sebagai lantai sekaligus tempat tidurnya, yang sepertinya lebih layak disebut gubuk  ketimbang sebuah hunian, melihat bencana ini, sepertinya alam begitu marah kepada kita.

Tak bisa kubayangkan bagaimana mereka menjalankan kehidupan dan bertahan  puluhan tahun disini, dengan hanya sedikit sumber air yang tersedia, makanan  dan fasilitas yang sangat terbatas bahkan menurut pengamatanku  hampir tak ada fasilitas umum disini.

Tak seperti dibumi yang kukenal selama ini, seolah aku sedang  berada di  planet Tatooine, sebuah planet yang begitu gersang  nan tandus tak berkehidupan di Film Star wars.

Sedangkan disisi lain bumi, aku, manusia yang mengaku makhluk modern berperadaban tinggi, hidup secara berbahagia dengan makanan dan air berkecukupan, membangun hidup di gedung pencakar langit, memiliki banyak fasilitas modern namun menjalankan kehidupan secara bermewah-mewahan, foya-foya, bahkan lebih cenderung mubadzir dan sering hidup seenaknya tanpa memikirkan kebahagian mereka yang berada disisi lain, miris diriku membatin, aku harusnya lebih bersyukur,hidupku begitu beruntung.

Sembari pikiranku melayang kesana-kemari, mulai  terasa, mobil tua berjenis grain truk merek Cevrolet pabrikan Amerika Tahun 1955 ini, perlahan mengurangi kecepatannya, ternyata kami telah tiba di Gapura perkampungan Sobi, bertuliskan " Akwaaba"  dalam bahasa  Asante yang berarti Selamat datang, salah satu bahasa suku disana, lalu ketika perlahan memasuki perkampungan Sobi kami disambut sorak-sorai hangat dan senyuman manis khas anak-anak afrika yang begitu meneduhkan, seolah kami adalah para pahlawan yang baru saja pulang memenangkan pertempuran.

Dibantu Tim dan pemuda setempat, kubawa peralatan medis, makanan serta obat-obatan bantuan dari para Negara donor  yang menggunung di bagian belakang truk, menuju sebuah tenda yang memiliki panjang sekitar 80 meter dan lebar 8 meter, dengan warna cat hijaunya yang mulai memudar akibat sengatan matahari, ditenda tersebut aku akan bertemu khansa satu-satunya sang relawan wanita pada misi kemanusiaan ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline