Apa saya ini gembeng ya, tiap mengingat yang namanya true love, mata saya pasti menggenang. Bayangkan semua momen yang baik pasti menyublim dalam benak, menertawai kebodohan demi kebodohan jika Tuhan teramat menyayangi kita namun dengan angkuhnya terkadang kita siwak.
Jadi penyadaran itu teramat lama, uang sekolahnya teramat mahal, sehingga dalam hidup, pernah dikirimi bidadari kecil yang menjadi guru hidup dengan mengajarkan : yang baik itu baik, tempatnya baik dan yang jelek kelak akan menjadi baik dan tempatnya juga baik. Tidak ada air kotor, yang ada air terkotori. Ia mengajari makna cinta tanpa syarat, keikhlasan yang paling dalam.
Dan guru saya tidak lama mengajari ini, hanya 6 tahun sebelum balik kesana, sebuah tempat dimana haru biru kesakitan hilang dalam lautan cintaNya. Orang bisa saja menyebutnya surga, atau nirwana, saya menyebutnya rumah kerinduan, tempat dimana adinda menanti saya dan mamanya dengan penuh harap. Itulah sebabnya, saya menganalogikan tempat yang baik harus ditempuh baik pula, dijalani dengan laku baik, sehingga kadang saya dan mamanya adinda menjadi acuh dengan apa yang kami dapat, acuh untuk menjadi apa, tapi concern akan berlabuh kemana akhirnya perjalanan ini. Dan kami yakin semua perjalanan akan berakhir di rumah kerinduan. Sehingga perjalanan ini kami sebut "jalan sunyi" sebuah awal dan akhir yang berujung sama yaitu sunyi.
#forsabtupahing
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H