Lihat ke Halaman Asli

Abdul Karim

Pegiat Sosial

Kemajuan Teknologi vs Kekonyolan Hukum

Diperbarui: 2 Mei 2016   13:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Merajalelanya trio Over TheTop (google, facebook, twitter) dalam menjalankan imprealisme digital dalam bidang advertising tidak dapat disangkal. Indonesia menjadi korban, karenakelalaian dalam mengantisipasi kemajuan teknologi dan keterlambatan dalam merevisihukum nasional-nya.Ini kesalahan fatal dan sangat merugikan. Asas manfaat dalamUU Telekomunikasi (sebagai dasar penyelenggaraan industri telekomunikasinasional) tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pembiaran ini harusnya ada yangbertanggung jawab. Karena itu sangat merugikan negara, berupa lost opportunity di bidang pajak.

Leluasanya google dkk mengeruk keuntungan dari digitaladvertising itu sama sekali bukan tindakan illegal karena teknologi yangtersedia sudah memungkinkan untuk itu. Hal ini adalah konsekwensi darikebijakan open pemerintah terhadap masuknya global private company itu keindonesia melalui jaringan telekomunikasi Indonesia yang sudah terkoneksi ke global network. Kebijakan open tersebut diimplementasikan dalam bentukkebebasan para operator (pelaku bisnis telco) dalam menjalin kerja sama denganpelaku-pelaku dari luar negeri (B to B). Seharusnya negara campur tangan disitudan dapat menentukan syarat-syarat tertentu yang berujung kepada pembayaranpajak.

Secara teknis kemajuan teknologi (yang netral itu) bukan tidakdapat diakali. Negara tinggal membuat regulasinya. Contohnya PT Telkom pernah memblokir masuknya content dari Netflix karena Netflix masuk tanpa permisi dan tidak ada kesepakatan bisnis dengan Telkom. Kemampuan blocking itulah yang akan menjadi bargaining position Indonesia. Saya dengar Pemerintahan sosialis China bisa memblok jaringan google. Mengapa hal itu tidak kita lakukan. Menurut parapakar juga, pemblokiran tersebut sebenarnya dapat dipilah-pilah. Secara teknis,pemblokiran dimungkinkan hanya pada iklan tertentu sedangkan fasilitas lainnya masihdapat dibuka. Artinya resistensi dari masyarakat akan minimal karena kenyamananmereka menikmati internet tidak terganggu.

Walau penetrasi internet di Indonesia baru sekitar 20%, masih di bawah rata-rata penetrasi dunia yang sudah mencapai 46%, namunkarena penduduk kita sangat besar (mungkin sudah lebih dari 257 juta) makapotensi itu akan menjadi sangat sexy bagi pemasang iklan. Itulah kekuatannasional kita.

Namun saya dapat info juga bahwa RUU Telematika sudah cukup lama terpendam di DPR, kemungkinan RUU tersebut sudah memuat ketentuan pajak-pajakiklan digital,  tetapi mengapa belum juga diundangkan. Tentu inimenyisakan tanda tanya tersendiri. Siapa pihak yang paling diuntungkan ataskeadaan ini?..... ataukah para legislator dan politisi itu sebenarnya pura-puratidak mengerti?

Salam digital.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline