Lihat ke Halaman Asli

Jarang Makan

Freelancer

Meniti Jalanan Setapak 10

Diperbarui: 12 Desember 2024   08:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Pertanyaan Ki Purnomo membuat jantung Widura memompa lebih kencang. Jangan-jangan ia akan menerima kemarahan karena peristiwa perkelahian itu. Widura tanpa sadar langsung melirik Ratri. Sedangkan wajah Ratri agak merona karena pertanyaan tersebut. Lalu keduanya sedikit menundukkan muka. Hal yang sama juga dilakukan oleh Murti, ia hanya membisu, bahkan agak menahan hembusan nafasnya.

Setelah mengumpulkan sedikit keberanian, Widura mengangkat kelopak matanya. Ternyata di wajah Ki Purnomo tidak tersirat kemarahan. Ia malah tersenyum lucu. Karena situasi dirasa baik-baik saja, maka Widura membuka mulutnya perlahan, "Saya Ki."

Mendengar ucapan Widura, Ki Purnomo tertawa dan berkata, "Hahaha. Kalau begitu, harap bersabar ya. Anak bapak yang satu ini memang agak pemarah. Kalian baik-baik saja dalam berteman nantinya."

"Iya, Ki Purnomo," sahut Widura dan Murti berbarengan.

Murti akhirnya juga melepas ketegangan perasaannya. Mereka lega ternyata Ki Purnomo orang yang ramah.

"Ah, bapak bisa saja. Aku marah kan ada sebabnya," Ratri membela diri, tapi sikapnya agak tersipu.

Ki Purnomo tertawa ringan menanggapi ucapan putri bungsunya itu. Lalu ia menyampaikan sedikit wejangan untuk anak-anak yang ada di hadapannya. Walau tidak terlalu akrab, Ki Purnomo mengetahui kalau Ki Jagabaya desa Ngalam adalah seorang yang baik. Maka dari itu, ia tidak mempermasalahkan bila anaknya diasuh oleh orang tua itu.

Widura memberi tahu Ratri kalau dalam dua hari mendatang ia bisa mulai berlatih. Mereka lalu bersepakat akan bertemu di tepian sungai pada waktu sore di hari tersebut. Sebelum berpamitan, Ki Purnomo menitipkan salam untuk Ki Jagabaya, bila memungkinkan ia juga ingin berkunjung ke rumahnya.

Sejak hari itu, seperti halnya Widura dan dua temannya, Ratri menjadi lebih giat saat membantu orang tuanya. Bila sebelumnya Ratri terkadang enggan bila disuruh membantu suatu pekerjaan, kini ia tidak lagi menolak.

Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Sore itu di tanah lapang tepian sungai terlihat beberapa anak bermain. Di bagian lain, Widura, Sogol, dan Murti sudah terduduk di sisi tanggul di bawah naungan sebuah pohon. Lalu tidak lama berselang, Ratri datang. Kali ini gadis cilik itu tidak memakai kain panjang seperti biasanya, tapi mengenakan celana dan pakaian yang lebih memudahkan gerakannya.

Setelah mereka duduk berkumpul, Sogol berkata, "Aku sebenarnya agak heran, karena nggak biasanya guru mengajak kita berlatih di luar rumahnya. Kira-kira ada apa yah?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline