Lihat ke Halaman Asli

Suara Diaspora NTT Tentang Pembunuhan Orang Timor di Lapas Sleman

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kepulauan yang terbentang antara 80-120 Lintang Selatan dan 1180 - 1250 Bujur Timur, merupakan merupakan salah satu dari provinsi di NKRI. Gugusan pulau-pulau tersebut disapa dengan berbagai sebutan, antara lain, Sunda Kecil, Nusa Tenggara, Nusa Tenggara Timur, dan juga Flobamora. Sejarah mencatat bahwa orang-orang di/dan NTT sudah berinteraksi dari sebelum RI merdeka dengan dunia luar. Interaksi itupun juga menjadikan adanya anak-anak NTT yang lama sudah berdiaspora jauh dari tanah kelahiran atau kampung halaman.

Di NTT ada aneka suku dan sub-suku di/pada wilayah tersebut, namun mempunyai satu tanda kesamaan yaitu sama-sama menyatukan diri sebagai anak-anak Flobamor ataupun NTT. Atau, jika mereka ada di luar NTT, maka tak lagi menyebut diri sebagai orang Flores, Sumba, Timor, Rote, dan lain-lain, tapi menyatu degan sebutan Orang Timor atau Anak-anak Timor, yang menandakan adanya solidaritas dan persaudaraan sebagai putera/i Tanah Timor yang Bo le le bo Tanah Timor Lelebo, Bae' Sonde Bae, Tanah Timor Lebeh Bae.

Penyebutan sebagai Orang Timor tersebut, di bahkan juga ada pada mereka yang sebetulnya bukan asli NTT (misalnya pendatang dari Maluku (terutama Maluku Tenggara dan Maluku Barat Daya), Timor Leste, Arab, China, Sulawesi, dan lain-lain) namun lahir dan besar di Kupang atau pulau-pulau lainnya di NTT.

Jadi, sejak lama tak sedikit anak Timor yang berdiaspora dan hidup di wilayah diaspora; mereka terpencar diberbagai pelosok dunia (nanti akan ada tulisan khusus tentang Diaspora NTT), di manapun mereka berada kampung halaman selalu menjadi suatu ingat dan ingatan; dan seringkali memunculkan air mata.

Menurut salah seorang guru besar Univ Pelita Harapan, John H Foeh, pada umumnya, anak-anak Timor, sebutan untuk orang NTT pada umumnya, di diaspora merupakan orang-orang yang pada umumnya tahan banting, teruji, dan survive, dan jika muncul sebagai putra terbaik atau terkemuka di/dalam komunitas di mana ia berada, maka itu atas usaha sendiri dan tidak dikatrol siapapun. Jika mereka yang berhasil dalam bidang apa saja, umumnya loyal terhadap majikan - atasan, namun pantang menjilat untuk memperoleh kedudukan; bahkan tak sedikit lebih memilih mundur (jabatan, tugas, dan lainnya) daripada menjilat atau berlawanan dengan aturan, hati nurani, dan agama.

Mental tahan banting, tahan uji, dan survival itulah yang sejak dulu sampai kini tertanam dalam diri Orang Timor yang berdiaspora, termasuk mereka yang ada di Jogyakarta. Anak-anak Timor yang ada di Jogya, sudah sejak sebelum kemerdekaan RI; mereka pada umumnya dari keluarga-keluarga terkemukan di NTT yang belajar di Jogya. Dan pada awal kemerdekaan, tak sedikit prajurit-prajurit dan laskar yang membela NKR, bertempur di Jogya (termasuk oertempuran pra, saat, dan setelah 1 Maret).

Bagaimana dengan mereka yang tertembak di Lapas Sleman;!? s Secara pribadi, saya tak mengenal mereka yang tertembak mati tersebut; ketika saya masih di Jateng, termasuk suka ada di Jogya tahun 1979 - 1982, mereka belum eksis atau bahkan orang tuanya pun belum menikah. Mereka ada di Jogya, mungkin setelah era Petrus (tahun 80/81/82), atau tahun-tahun belakangan.

Entah mereka di Jogya itu, pada mulanya sebagai mahasiswa (untuk kuliah, kemudian karena sebab tertentu putus kuliah) atau orang biasa - anak nakal yang lari ke Tanah Jawa, ada banyak pendapat tentang itu atau tidak ada info yang jelas; yang pasti, mereka ada di area abu-abu dan gelap, bahkan wilayah yang sangat gelap karena untuk bertahan hidup.

Mereka bukan rahib, pendeta, ustad, atau orang-orang suci yang tanpa salah; mereka adalah Anak-Anak Timor yang mau dan bertahan hidup dan kehidupan; walaupun dengan cara,  yang menurut banyak orang, berlawanan dengan hukum, agama, dan dunia terang. Bisa jadi, mereka telah menjadi orang terkemuka di/dalam komunitasnya, walau itu ada dalam sisi gelap dari hidup dan kehidupan.

Walaupun seperti itu, bukan berarti mereka harus dihabisi dengan keji dan penuh kekekijian; mungkin saja mereka pernah memishkan nyawa dari tubuh seseorang, namun bukan menjadi alasan agar nyawa mereka pun dipisahkan secara live oleh para eksekutor.

Perlakuan dan perilaku para eksekutor terhadap mereka (seandainya mereka atau anak-anak Timor itu mendapat hukuman mati karena kelakuannya) di Diaspora tersebut, secara mendadak memunculkan (kembali) rasa ketidakadilan hukum - perlakuan terhadap Tanah Timor dan Orang Timor.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline