Kisah seru yang (ber)seteru antara Wagub DKI, Basuki TP dan PKL pun berending dengan damai serta memuaskan. Sebetulnya hal sepertu itu, seru dan seteru, tersebut tak tak perlu ada dan tiada, jika tak ada yang ngompori serta ikut-ikutan memperkeruh suasana.
Betapa tidak!? Pada satu sisi, Pemda DKI, melalui komando Wagub, sesuai dengan tuntutan masyarakat, ingin mengatur serta menyamankan (PKL sekitar Pasar) Tanah Abang; apa yang salah dengan upaya ini/tersebut!?
Di sisi lain, para PKL tersebut, yang justru menebar lapak jualan (di jalan) dengan cara mendapat izin dari penguasa-pengusaha jalanan setempat. Para penguasa-pengusaha jalanan tersebut sudah bertahun-tahun mengais rezeki dengan cara haram serta tak bermartabat di seputaran Tanah Abang.
Jadi, ada kepentingan yang saling berhadapan, Pemda DKI dan PKL (plus para suporter dibelakang mereka); jika para PKL tersebut tetap ada dan berdagang bukan pada tempatnya, maka para penguasa-pengusaha jelanan ikut untung serta meraih keuntungan. Dengan sebaran lapak PKL yang tak teratur, maka kegiatan-kegiatan pelanggaran hukum pun marak dan gampang dilakukan. Sehingga mereka, para penguasa-pengusaha jalanan tersebut, bisa menarik upeti lapak, biaya keamanan, parkir liar, bahkan jika ramai kunjunagn masyarakat dan berdesakan, maka mudah utuk melakukan acara-kegiatan copet dan pemalakan.
Dengan demikian, jika para PKL tersebut pindah-dipindahkan, maka mereka lebih aman dari banyak kutipan liar serta pemalakan; lingkungan jalan raya sekitar Pasar Tanah Abang pun, akan rapi serta tertur. Akibatnya, masyarakat kembali jadikan Pasar Tanah Abang sebagai tujuan pertama untuk mencari tekstil dan kebutuhan lainnya.
Di samping itu, jika Tanah Abang menjadi rapi, teratur, nyaman maka para penguasa-pengusaha jalanan pun kehilangan penghasilan; mereka akan tergusur dari sana, dan bahkan mati pelan-pelan.
Hal-hal seperti itu (di atas), yang menurut seorang sanak jauh yang berjualan di Tanah Abang, sangat dimengerti mereka. Para PKL pun menyadari bahwa mereka bedagang pada tempat yang tak tepat. Mereka juga tak mau berdagang bukan pada tempatnya, namun sikonlah yang menjadikan seperti itu. Ada permaian yang kusut, dan banyak orang (yang bukan haknya) ikut-ikutan mencari keuntungan dengan jalan melakukan pelanggaran undang atau pun Perda DKI; bukankah semakin ada atau melakukan pelanggaran-melanggar aturan, maka makin banyak uang yang dikeluarkan atau disetorkan, (setor kepada siapa!? silahkan anda mikir)!?
Jadi, ketika Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, dengan keras menentang para penguasa-pengusaha jalanan di Tanah Abang, mereka pun unjuk fisik, dan akhirnya ketahuan juga bahwa ada Lulung (yang hasil ivestigasi tempo.co, ternyata punya sejarah abu-abu di Tanah Abang) di balik mereka; serta FPI yang ikut-ikutan berbunyi dengan nada sumbang dan tak berbobot.
Untungnya, para PKL yang demo di Balai Kota DKI tanpa disusupi oleh mereka yang bukan PKL, dan kemudian Ahok menerima perwakilan mereka, akhirnya bisa menerima solusi dari Pemda. Mengapa bisa!? karena mereka, para PKL tersebut, bisa berdialog dengan Wagub tanpa Lulung, tiada FPI, serta tak ada perwakilan dari para penguasa-pengusaha jalanan. Mereka, para PKL, bisa berdialog dengan tanpa tekanan serta takut di tekan orang lain. Hasilnya adalah menurut Ahok,
"Dia sudah bilang, 'Kita sepakat dukung bapak'. Kita ngerti lah. Mereka cuma bilang, ‘Pengalaman kami dengan Pemprov, Blok G saat ini memang masih sunyi. Cuma pengalaman PKL, begitu sudah laku, pasti diusir.’ Dulu mereka di Blok A lantai 12, tapi pindah. Makanya itu, harus dengan perjanjian. Ini kan PD Pasar Jaya sudah gadaikan ke swasta pasar-pasar karena enggak laku. Ini kesempatan, kalau enggak laku, saya dorong kalian untuk mengusai. Masak kalian tidak mau? Mereka mendukung relokasi? Yang pasti mereka bilang akan mendukung penuh Pemprov DKI menerapkan perda. Dulu kan alot, tapi sekarang kan jelas mereka bilang, 'Kami akan ikut',
Hasilnya manis dan sedap didengar; tanpa harus terus menerus berbantah-bantah sambil menebar ancaman serta nada sentimen SARA, semuanya bisa diselesaikan.
Ada solusi menang-menang; PKL nantinya akan bebas dari membayar upeti liar ke/pada para penguasa-pengusaha jalanan; dan lingkungan sekitaran (Pasar) Tanah Abang menjadi bukan lagi wilayah yang menakutakan, bebas macet, serta menjadi lebih bersahabat dengan siapa saja.
Sehingga bisa saja, kita, anda, saya bisa merekomendasikan kepada sanak-sahabat-teman dari luar DKI bahwa kini Tanah Abang telah menjadi tempat Wisata Belanja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H