Lihat ke Halaman Asli

[Wahai Kopassus] Masih Ada 118 Terpindana Mati yang Belum Dieksekusi

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13653857911386193056

[caption id="attachment_246739" align="aligncenter" width="459" caption="Foto Agung Wicaksono/Indonesia Hari Ini Dalam Kata-kata"][/caption]

“Premanisme di Jogja yang merajalela ini membuktikan hukum bisu. Hukum tidak bisa menyentuh preman-preman ini. Hukum ini masih punya legalitas tapi sudah tidak punya legitimasi. Hukum ini sudah tidak mempunyai daya rekatnya, sehingga masyarakat sudah tidak percaya lagi.

Hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat. Oleh sebab itu, apabila hukum tidak bisa melindungi rakyatnya maka senjata yang akan bicara.

Makanya secara hukum mereka salah, tapi secara moral mereka baik. Kalau perlu mereka dapat Bintang Mahaputra.” [AM Hendripriyono].

1364962767957906818

Mari, kuajak mengikuti pemikiran dan wacana dari AM Hendropriyono, SBY, bahkan Petinggi Tentara lainnya, atau siapa pun juga, yang membernarkan tindakan para Ksatria dari Kartasura. Paling tidak, semuanya mempunyai nada dan irama yang sama bahwa, "Hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat. Oleh sebab itu, apabila hukum tidak bisa melindungi rakyatnya maka senjata yang akan bicara." Dengan itu, membenarkan pendapat banyak orang bahwa adanya upaya masyarakat mencari keadilannya sendiri, eksekusi mati dilakukan oleh masyarakat maupun aparat. Hutang nyawa dibalas nyawa.

Masyarakat ataupun aparat bisa melakukan sesekusi, jika hukum tak bisa melindungi rakyat, .....; apakah sejauh ini, betul-betul terjadi Chaos Hukum di Nusantara, terutama di DIY, sehingga rakyat telah terngganggu sehingga membenarkan tindakan penembakan di/dalam LP!? Ok kita aminkan saja semuanya itu sebagai suatu kebenaran, karena yang berbicara adalah para tentara dan petinggi tentara.

Mari sejenak ikuti Kitab Undang Undang Hukum Pidana Pasal 13 ay 2, bahwa "Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahanan pidana karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan pasal 52."

Sampai saat ini, Indonesia belum menghapus hukuman mati, dengan alasan bahwa ada norma, kebudayaan, yang memperbolehkan hukuman mati untuk keadilan dan keselamatan manusia lain; juga hukuman mati kepada pelaku kejahatan adalah bentuk penghargaan kepada nyawa manusia lain. Di balik itu, jangan sampai ada nyawa yang hilang tanpa proses pengadilan. Bahkan, hanya kejahatan luar biasa yang diganjar hukuman mati. Itu juga melalui proses yang panjang dan memberikan 'kesempatan' kedua lewat pengajuan grasi dan permintaan terakhir. Proses yang legal secara hukum dan kemanusiaan.

1364962767957906818

Karena Indonesia belum menghapus hukuman mati, maka masih keputusan pengadilan terhadap banyak terdakwa dengan vonis hukman mati. Sampai saat ini, ada 118 terpidana mati, yang menani dieksekusi. Mereka adalah 56 orang kasus pembunuhan dan 55 kasus Narkoba, [jika anda mempunyai google+, maka silahkan klik dan download; jika anda ingin data tersebut, maka silakan kirim e-mail ke opa.jappy@gmail.com].

Para terpidana mati tersebut ada dan menyebar di berbagai LP di Nusantara; mereka tidak berkeliaran di tengah-tengah masyarakat, karena bisa mengancam keselamatan orang lain; mereka dengan setia, kapan diseksekusi. Mereka tetap di/dalam penjara sebagai perlindungan terhapad rakyat (orang lain) yang menjadi korban kejahatan mereka. Hukum membiarkan para terpidana mati tersebut ada dan tetap dalam penjara sampai hari - saat mereka diesksekusi.

Lalu, mengapa sampai saat ini, mereka belum di esksekuis!? tanyakan ke pihak aparat hukum.  Bagaimana dengan kasus ini!?

Dari berbagai sumber ditemukan data sebagai berikut: Bripka Yohanis Juan Manbait alias Juan adalah anggota Polresta Jogja berdinas di Polsekta Jogja. Benyamin Sahetapy alias Decky adalah Residivis yang baru keluar dari penjara akibat melakukan pembunuhan terhadap warga Papua di Jogjakarta. Decky adalah Pengurus Ormas KOTIKAM (Komando Inti Keamanan) Jogya, bekerja sebagai (Koordinator) Keamanan beberapa tempat hiburan di Jogja. Adrianus Chandra Galaja alias Dedy dan Yermiyanto Rohi Riwu alias Adi, kedua orang ini adalah anak buah Bripka Juan. Mereka melakukan pengeroyokan terhadap Sertu Santoso hingga meninggal dunia di Hugos Café Maguwoharjo Depok Sleman DIY.

Agaknya para tentara melihat bahwa kasus di atas sudah melebihi Kitab Undang Undang Hukum Pidana Pasal 13 ay 2, sehingga perlu dieksekusi dengan cara tentara, dan ini dibenarkan oleh berbagai kalangan, termasuk para petinggi tentara. Dan mungkin juga sama dengan pendapat bahwa "apabila hukum tak melindungi rakyat, maka senjata yang akan bicara."

Dengan itu, serbuan ke LP adalah tindakan yang benar serta dapat dibenarkan. Oleh sebab itu, hendaknya Kopasus juga atau harusnya melakukan hal yang sama terhadap para terpidana mati yang belum dieksekusi.

Bukankah mereka juga tidak dilepaskan karena bisa mengancam keselamatan rakyat dan sudah menunggu waktu dan saat jalani hukuman mati!? mengapa harus menunggu!? Bukankah para preman (dan juga residivis) di Jogya, yang baru beberapa hari ditangkap dan di LP kan, bisa dibunuh karena nantinya mengancam keselamatan rakyat!?

Seharusnya, jika Kopasus bisa membunuh mereka di LP Sleman, maka Kopasus pun gampang lakukan hal yang sama ke para terpidanan mati lainnya (yang bisa saja, lebih jahat dan sadis dari mereka yang terbunuh dalam LP Sleman).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline