[caption id="attachment_195028" align="aligncenter" width="530" caption="koleksi vivanews"][/caption]
Anis Matta, Sekretaris Jeenderal PKS, "Kami akan menerima kekalahan secara gentleman," hanya itu yang ku ingat dari berbagai media tentang kekalahan kandidat PKS, Hidayat Nur Wahid-Didik Rachbini. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bisa menerima kekalahan dalam Pilkada Jakarta.
Timbul pertanyaan, ko' bisa kalah!? Jika ada kecurigaan bahwa kalau PKS menang akan menghijaukan Jakarta, maka ini tak mempan dijual ke masyarakat DKI; atau memang dijual pada waktu kampanye sel, namun tak efektif!? Lihat/klik Ahok Bisa Kalah Karena Kampanye Sel. Karena berdasar pengalaman dua kali Pilpres, Kampanye Sel dan Kampanye SMS sangat efektif menggagalkan kandidat lain.
Akan tetapi, nyatanya Hidayat - Didik, bahkan beberapa kali saya telpon dan kirim pesan ke orang dekat Didik (dan juga teman ku), untuk sekedar bertemu, tapi karena saking sibuk dan percaya dirinya; rencana tersebut tertunda dan akhirnya batal.
Dan hingga kini, walau HNW dukung Jakowi - Ahok, tapi keutuhan PKS belum bersuara dan berpendapat untuk mengarahkan kadernya menuju kiblat Jokowi atau Foke. Kita tunggu saja.
Banyak pendapat mengenai kekalahan tersebut; sangat simpang siur memang. Agaknya, ini sebatas hasil omong-omong di Gardu Pos Kamling lho, ...
Pada tubuh atau elite PKS ada faktor PD yang sangat tinggi. Dan mereka berpikir bahwa kader-kader di/pada akar rumput (yang biasa iteraksi dengan rakyat dari rumah ke rumah) telah berhasil meyakinkan pemilih, sehingga pasti mencoblos Hidayat - Didik. Rasa PD ini, boleh-boleh saja; percaya pada kerja kader, boleh-boleh saja; namun tanpa chek - rechek, maka kacaulah keadaan.
Bunyi suara dan nada para kader PKS di jejarin sosial (terutama page dan grup FB), justru menjadi penyebab utama kegagalan. Merek hanya bersuara tentang "jika HNW-DIDIK menang maka ada (kata-kata - program) pelarangan-pelarangan; misalnya, "Jakarta Bebas Maksiat; Jakarta Bebas Porno; Jakarta Islami; Jakarta mulia; dan aneka bebas lainnya." Tentu saja, tak semua warga DKI inginkan model hidup dan kehidupan metropolitan seperti itu; yang tak boleh ini dan tak boleh itu. Akibatnya, kita sudah lihat bersama.
Rakyat DKI agaknya sudah mulai sama dengan daerah lain, yang berpedoman bahwa apa pun parporlnya, tak peduli, yang penting orangnya. (ada banyak contoh bahwa parpol-parpol kecil justru menang pada pilkada di daerah-daerah, karena sosok yang dipilih, bukan parpol besar). Dan dengan itu, maka Jokowi - Ahok yang tampil membawa citra perubahan menuju Jakarta Baru, yang dipilih warga DKI. Rakyat DKI lebih tertarik pada sosok personal calon gubernur ketimbang partai yang berada di belakang calon-calon gubernur itu.
Nah, PKS Case menjadi pembelajaran untuk semua; untuk semua yang mau maju di/pada PILKADA di mana pun.
[caption id="attachment_194597" align="aligncenter" width="208" caption="koleksi amazing butterfly"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H