Lihat ke Halaman Asli

NEGARA PARIPURNA

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13383658161525433624

NEGARA PARIPURNA: Historitas, Rasioalitas, dan Aktualitas Pancasila

[caption id="attachment_184556" align="alignright" width="300" caption="koleksi pribadi"][/caption]

PANCASILA Ketuhanan Yang Maha Esa Kemanusiaan yang adil  dan beradab Persatuan Indonesia Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Judul   : NEGARA PARIPURNA: Historitas, Rasioalitas, dan Aktualitas Pancasila Penulis : Yudi Latif, MA., Ph.D (Gontor, Unpad, Australian National Univ) Penerbit: Gramedia Pustaka Utama/(Bakti Pendidikan:  Djarum Foundation) Tebal : 667 hal (termasuk indeks) + xxvii

Secara pribadi, saya tak mengenal siapa Yudi Latif (yang kebetulan tanggal lahirnya sama dengan saya yaitu 26 Agustus, tapi bebeda tahun), namun familiar dengan tulisan-tulisannya di berbagai media dan buku. Sepintas ketika melihatnya kemarin (29 Mei 2012) di Temu Rembug dan Sarasehan Nasional: Kepemimpinan Nasional Berkarakter Pancasila, Yudi Latif menampilkan diri sebagai sosok Nasionalis yang smart terdidik serta pluralis (untuk yang terakhir ini, mudah-mudahan benar).

Kesan pertama ketika membaca NEGARA PARIPURNA: Historitas, Rasioalitas, dan Aktualitas Pancasila, (selanjutnya NP), dari halaman-halaman awal, kemudian terjerumus ke dalam halaman berikutnya,  adalah apa yang seharusnya terjadi dan apa yang seharusnya ada di NKRI, tetapi tidak terjadi dan tak ada.
Yudi Latif berhasil memperlihatkan apa yang seharusnya terjadi pada NKRI sebagai Negara yang dibangun berdasar idiologi Pancasila; apa yang seharusnya terjadi tersebut ternyata tak ada atau tidak terjadi di negeri ini.
Pada NP, terlihat dengan jelas bahwa Apa-apa yang seharusnya terjadi itu, ternyata bukan ha-hal yang melayang-layang serta terjangkau, tapi perkara sederhana dan patut serta mudah dikerjakan oleh aparat – pejabat Negara, politisi, tokoh agama, dan rakyat biasa, atau siapa pun yang mau menjadikan NKRI tegak berdiri dengan penuh wibawa.
Ada banyak paparan historis dan pesan moral sosial dalam NP, yang dapat menjadi acuan oleh pemerintah – politisi – aparat – rakyata dalam kerangka membangun Nusantara yang lebih baik, dengan tanpa memandang sekat-sekat pemisah (karena adanya perbedaan) sara dan idiologi.
Untuk pembaca NP, perlu memperhatikan bahwa pada buku tersebut ada banyak istilah yang memerlukan anda tahu sebelumya. Jadi perlu pemahaman awal mengeai bahasa, istilah sosiologis – antropologi – dan sejenisnya, jika tidak maka akan terjerumus dalam salah mengerti.
Dan yang menjadi perhatian saya (secara khusus) adalah, dalam NP, Yudi Latif juga melakukan aktualisasi sila-sila pada Pancasila (dan memang buku ini merupakan uraian-uraian tentang hasil aktualisasi tersebut) menjadi hal-hal berikut (yang kena-mengena sikon kekinian di negeri ini): Ketuhanan Yang Berkebudayaan Kemanusiaan Universal Persatuan Dalam Kebhinekaan Demokrasi Permusyarawatan Keadilan Sosial

Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Demi kemaslahatan peran publik, harus dihindari politisasi agama yang mengarah pada kecenderungan triumphlaisme, pengucilan yang lain, dan hubungan eksternal yang berbahaya. Kontribusi terbaik agama terhadap kehidupan publik bukanlah dengan membiarkan politik terfragmentasi atas dasar idiologi keagamaan yang membuat kasih ketuhanan lenyap. Tetapi, baik partai maupun ormas-ormas keagamaan harus memungkinkan suara profetik keagamaan terdengar. Dengan berjejak pada nilai-nilai moralitas ketuhanan seperti dinyatakan dalam sila pertama Pancasila, segera terbentang misi  profetik yang diemban oleh agama sipil ini: mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, konsensus secara bijaksana, serta keadilan social yang mengatasi tirani perseorangan dan golongan. Fundametalisme keagamaan dan fundamentalisme sekuler harus dihindari karena keduanya membuat ketuhanan dan politik terus-menerus saling mengucilkan dan mengalahkan, yang membuat kehidupan spiritual tanpa kesalehan social dan menjadikan politik tanpa jiwa, (h 119-121).

Kemanusiaan Universal. Pancasila seharusnya dijadikan sebagai prisip peradaban manusia dan bangsa Indonesia. Pelbagai tindakan dan perilaku yang sangat bertantangan dengan sila prikemanusiaan tidak sepatutnya mewarnai kebijakan dan perilaku aparat Negara dalam kehidupan publik. Kekerasan, kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjanagan hidup merupakan kenyataan yang sungguh bertantangan dengan rasa keadilan dan kemanusiaan, oleh karena itu harus dihapuskan dari perikehidupan bangsa, (h. 245).

Persatuan Dalam Kebhinekaan. Tantangan demokrasi kedepan adalah bagaiamana perwujudan pengakuan politik dan politik pengakuan yang menjamin hak individu maupun kesetaraan hak dari aneka kelompok budaya, sehingga bisa hidup berdampingan secara damai dan produktif dalam suatu republik.  Dalam konteks itu, di satu sisi, Negara harus menjamin kebebasan berekspresi pelbagai identitas, terutama golongan-golongan minoritas yang cenderung terpinggirkan. Dalam jangka pendek, model pluralis bias diadopsi demi memugkinkan golongan golongan minoritas-marginal untuk mengekspresikan identitas kulturalnya di ruang publik; ruang publik harus terbuka bagi partisipasi golongan minoritas dalam pendidikan, politik dan jabatan publik. Dalam jangka panjang, model kosmopolitan bisa didorong bersamaan dengan mencairnya sekat-sekat etno- kultural, (h 379). Demokrasi Permusyarawatan. Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas atau pun kekuatan minoritas elite politik dan pengusaha, melainkan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan yang memuliaka daya-daya  rasionalitas deliberatif dan kerifan setiap warga Negara tanpa pandang bulu. Untuk itu, segala kekuatan dalam masyarakat, tanpa pandang bulu, harus diberi akses ke dalam proses pengambilan keputusan, (h 487).

Keadilan Sosial. Perwujudan Negara kesejahteraan sangat ditentukan oleh integritas dan mutu para penyelenggara Negara, disertai dukungan rasa tanggungjawab dan rasa kemanusiaan yang terpancar pada setiap warga.  Tidak sepantasnya, pejabat Negara Cuma mau mendapat utung dengan membiarkan rakyat terus buntung, (h 607).

1337348895613463306

Abbah Jappy P

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline