Lihat ke Halaman Asli

Polisi Masih Sebagai Aparatur Negara atau Aparatur Preman Berjubah?

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

133491120497071734

[caption id="attachment_181953" align="alignright" width="300" caption="foto koleksi widodo.com"]

1337261191856654630

[/caption] Prihatin, sekali lagi prihatin. Itu adalah kesimpulan pertama, ketika membaca news kecil / pendek di antaranews.com. Karena keprihatinan itu, selanjutnya ingin menemukan bukti dan data yang ada di media online. Ternyata menemukan banyak gambar - banyak vidio - banyak berita.

Internet memberikan data yang sangat banyak; ada banyak gambar yang berbicara dan bercerita tentang mesrahnya pak polisi dengan preman-preman berjubah. Aparat Negara (yang dibayar negara untuk keamanan warga) tersebut, cenderung berdampingan dan membiarkan para preman - para radikalis - para perusuh merusak dan anarkis.

Lihat contoh di Bogor (penolakan GKI Yasmin), polisi -  satpol pp justru menekan jemaat GKI Yasmin, bukan para perusuh. Juga, lihat juga di Bekasi (HKBP), sangat terang benderang aparat membiarkan para rasis melakukan gangguan dan brutal terhadap jemat HKBP. Dan juga, yang paling baru peristiwa sekitar Irshad Manji, sangat jelas pembiaran oleh polisi dan tunduknya polisi terhadap para perusuh; lihat juga yang paling baru, sekitar larangan terhadap Si Laddy Gaga, paling tidak ada pengakuan dari polisi, bahwa mereka ikuti permintaan ormas.

Dan jika, mau rajin, maka masih banyak arsip dumay tentang damai dan mesrahnya aparat - aparatur negara tersebut dengan para agen kekerasan dan pelanggar ham. Belum lagi kasus-kasus yang bersifat pilih kasih - salah tangkap - dan juga - menguapnya kasus serta bertele-telenya kasus tertentu (lihat saja kasus ustad terkenal dari Jaksel, sudah tak terdengar; lihat juga kasus-kasus korupsi para politisi, seakan menguap terbawa panas). Juga kasus, gang motor, juga sudah tak terdengar. Walau saya GOLPUT,setuju dengan pendapat Anggota Komisi III DPR, Eva Sundari, bahwa "Polri sudah didikte organisasi kemasyarakatan tertentu melarang konser Lady Gaga, karena alasan mempertontonkan maksiat. Saya menilai Polri tidak obyektif. Polri gagal dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai aparatur negara yang profesional, independen, non diskriminasi dan imparsial". Lepas ada atau tidak larangan terhadap Si Gaga, saya jauh hari sudah mempunyai pendapat sama dengan Eva Sundari; karena memang banyak kasus kekerasan (atas nama agama)  yang dilakukan oleh para perusuh tersebut, lenyap tak berbekas; atau bisa saja ditangkap - bap - masuk pengadilan; tapi karena proses bap seadanya, maka mereka dihukum sangat ringan. (Lihat kasus Cikeusik dan Temanggung, para perusuh hanya dihukum dengan hitungan hari, padahal ada properti yang rusak dan nyawa melayang). Dan lihat juga, kasus, merontokan Patung Maria di  Tawamangu - Jateng, telah hilang dan senyap; dan jika ditelusuri lagi maka akan semakin panjang, ketidakadilan hukum yang diawali dari aparat negara tersebut.

1334713799935884150

Dan kini, saya semakin setuju dengan Eva Sundari serta mengajukan pertanyaan yang sama yaitu, "Polisi masih sebagai aparatur negara atau aparatur preman berjubah?,"  Terpulang pada krebilitas polri sendiri, mereka yang punya hak menjawab serta membuktikan; menjawab dengan benar serta membuktikan bawa mereka tak seperti diduga banyak orang.

133491120497071734

Abbah Jappy P

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline