Sedikit ingatan pada masa lalu, pada waktu masih di SR/SD, SMP, SMA, sahabat karib saya (entah kebetulan atau tidak, kami selalu ada di kelas yang sama, dan selalu duduk sebangku) bernama Samsudin Abdurachman; anak dari seorang Kupang keturunan Arab; begitu akrab, sampai-sampai tanda tangan kami pun hampir sama, sama-sama didasari huruf-huruf SAJA (ejaan lama, Samsudin - Jappy; ada banyak buku, meja, pohon, dinding yang bergrafiti SAJA, dan orang tahu itu dari/artinya Samsudin - Jappy). Melalui Samsudin (seorang Muslim yang taat), saya (seorang Kristen yang taat) mengenal Islam dan sikap-sikap Muslim/mah (bahkan mengenal komunitas Muslim di Kupang). Waktu masih di SMP, kami membagi Kitab Suci,
Samsudin memberi ku Al Quran (dan terjemahan HB Jassin), dan saya memberikan kepada Alkitab, tujuannya agar kami saling mengerti satu sama lain. Bahkan, ketika di SMP, saya sempat belajar alif - ba - ta darinya. Dari interaksi tersebut, ternyata, saya menemukan Muslim/mah yang ramah, toleran, dan mau bergaul dengan siapa pun. Dan itu tertanam dalam diri ku sampai saya merantau (keluar dari Kupang). Ketika tamat SMA, kami berpisah, Samsudin masuk Fak Peternakan, saya Masuk ke Jurs Matematika; kami tetap dekat walau agak jauh karena sibuk kuliah. (Sampai sini, saya dan Samsudin tetap berteman dalam hati dan jiwa. Tapi, kami sama sekali putus hubungan ketika Samsudin lulus dan bekerja di Timur Timur, serta terbunu di daerah konflik tersebut).
Ketika saya total pindah ke luar NTT, dan kuliah di Semarang; saya pun tinggal di wilayah yang bisa dikatakan, cuma saya yang Kristen. Dengan pemahaman tetang yang ada pada ku, interaksi dengan teman-teman kampus, orang-orang di sekitar tempat tinggal ku, juga sama; mereka memperlihatkan Islam yang tak jauh berbeda dengan dengan dari Islamnya Samsudin, sahabat karib ku, dan sahabat-sahabat Muslim ku di Kupang.
Ketika, mulai berkarya (dan harus berpindah-pindah sesuai tuntutan tugas) dan tinggal di Cirebon, Ambarawa, Salatiga, Boyolali, Magelang, Mojokerto, Sidoarjo, Surabaya, dan juga pulau-pulau kecil di Kepulauan Riau, interaksi (dan menemukan) Islam - Muslim/mah yang hampir sama dengan apa yang di dapat dari Samsudin dan teman-teman ku di Semarang dan sekitarnya.
Melengkapi, pengetahuan (ku) tentang Islam (belajar dari cara hidup orang Islam), ku belajar Islamalogi di Jawa Tengah (dari beberapa sumber ternama) dan juga di Jakarta (ini pun dari orang-orang yang tak diragukan pengetahuan tentang Islam). Dan sampai titik ini, (dan ini adalah kelemahan terbesar ku dalam memahami Islam), ku hanya memahami Islam main stream, arus utama yang menyenangkan, sambil memangdang sebelah mata terhadap riak-riak kecil yang tak perlu.
itulah cerita lama, yang membekas, dan ku selalu rindu tetap ada dan terus ada
Titik Manis dan Kenangan Manis itu tiba-tiba (dan mulai) berubah, ketika (jelang Natal dan setelah) tahun 2000, ada peristiwa yang mencekam, rentetan bom meledak di sejumlah Gereja di Nusantara.
Sehari setelah, ku harus masuk kerja, sempat mengumpulkan anak-anak didik (yang Protestan - Katolik, ada juga yang anggota keluarganya menjadi korban) di salah satu ruangan, sambil memberikan petuah agar tenang, tegar, dan tenang; lucunya, pimpinan ku ketika itu, yang seorang pakar pendidikan dan selalu muncul di media, tidak bereaksi apa-apa, padahal ada keluarga anak didiknya yang menjadi korban; tidak ada nada empati - simpati, bahkan tak nada dan kata prihatin dari mereka yang lain; aneh; seakan mereka juga setuju dengan rangkaian ledakan mematikan tersebut.
Dan dari rangkaian itulah muncul CABANG baru dalam diri ku, cabang untuk melihat dan belajar sisi lain dari yang selama ini tidak dipelajari, yaitu sisi radikal - radikalisme dari Islam. Hmmm ... ternyata sanga tmenyenangkan juga. Ternyata, telah ada jauh, sebelum negeri ini merdeka. Mereka yang radikal itu, telah tampil sebagai sosok yang menakutkan di banyak tempat di Bumi.
LALU, mengapa sosok-sosok tersebut ada di Nusantara!? Bukankah, sejak lama (telah) ada dan tercipta hubungan damai dan harmonis antar (dan antara) umat beragama di Nusantara!? Mengapa kini (di sana - sini) menjadi (dan pada banyak tempat sering muncul) disharmoni - intoleran - penuh ketidaknyamanan!?
Ketika menelusuri semuanya itu, ternyata jawabanya ada pada Pemerintah RI. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa ulah pemerintah inilah, yang kini sikon keberagamaan yang miring tersebut merajalela di Nusantara. Mari kita melihat jauh ke belakang :
Pada era lalu, tiba-tiba ada SKB MENTERI yang (katanya) mengatur (sebelum) pendirian rumah ibadah; dan SKB ini lebih tertuju kepada pembangunan bukan mesjid (pembangunan Mesjid tak perlu memperhatikan SKB itu).
SKB ini, secara jujur, bukan untuk rakyat (yang berbeda agama) bisa menerima pembangunan rumah ibadah di wilayah tertentu, melainkan terbuka atau MEMBUKA peluang agar rakyat menolak (tidak memberi izin) pendirian rumah ibadah. aneh bukan ... !?
Pada era yang lalu, ada yayasan ... Amal Bhakti ..., yang dananya dari pemotongan gaji pegawai negeri (yang beragama Islam); dengan kekuatan-kekuasaan yang ada, yayasan ini membangun mesjid di mana-mana (dan bisa jadi, walau tanpa imb atau izin warga setempat, tak ada satu pun berani menolak; jika berani menolak, maka akan diciduk karena melawan pemerintah dan dituduh intoleran). Entah model ini masih terjadi atauu tidak.
Kemudian, juga sejak masa lalu sampai kini, di banyak kota, tiba-tiba muncul apa yang disebut mesjid negara, mesjid pemerintah, mesjid agung, mesjid kota, serta biasanya berdekatan dengan pusat pemerintahan, dan seterusnya; (dan tidak ada satu pun di negeri ini bernama (gedung) gereja negara, pura negara, vihara negara, dan lain sebagainya); bermunculan juga mesjid-mesjid di Kampus PT Negeri, kompleks tentara, dan lain sebagainya, seakan di negeri hanya ada satu agama.
Dan juga, yang namanya Departemen/kementerian Agama, sejak lama telah muncul lelucon sinis terhadapnya, sebagai Departemen Agama Islam.
Juga ada MUI; MUI yang dibentuk oleh pemerintah sebagai salah satu alat untuk membimbing umat, belakangan ini, malah sebagai corong haram - halal pada/untuk segala bidang; bahkan ucapakan hari raya (yang nota bene hanya ucapan sosial) kepada umat bukan Islam, adalah sesuatu yang haram.