Lihat ke Halaman Asli

Abdurrahman Wahid, "... Masalah Pendangkalan Agama"

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13265321801078827945

Judul : Passing Over Melintasi Batas Agama Editor : Komaruddin Hidayat - Ahmad Gaus AF Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001 464 hl + indeks Ini adalah (ringkasan dan tinjauan serta refleksi terhadap) tulisan Abdurrahman Wahid, berjudul Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama, dalam Passing Over hal 51 - 59.

Gus Dur, memulai tulisannya, dengan pernyataan, "Ada satu hal yang sangat menonjol yang harus diperhatikan dan sekaligus prihatin di bidang kehidupan keagamaan, yaitu di kalangan kaum Muslim di negeri kita mulai te­rasa adanya akibat dari proses pendangkalan agama yang sudah berlangsung atau berjalan lama. Pendangkalan agama bila diurut ke belakang, sebenarnya dimulai dari interaksi antara Islam di Indonesia dengan Islam dari mancanegara, terutama  Timur Tengah. Islam di Timur Tengah sudah dijadikan ideology atau komoditas politik – baik komoditas yang menindas maupun yang ditindas. Itu terjadi  dari Arab Saudi, Aljazair, Sudan, Maroko, Iran, dan pada titik tertentu juga di  Irak."
Dan juga, menurut Gus Dur, Islam di sana, Timur Tengah, telah menjadi sesuatu yang lain, atau muncul  dengan warna lain, yang perkembangannya jauh berbeda dengan Islam di Indonesia. Timur Tengah merupakan ajang pertarungan yang tidak pernah berhenti, di mana Islam berkonfrontasi dengan yang lain secara terbuka,  sedangkan kita di Indonesia berada  di ujung lain, paling aman, relatif tidak ada yang mengganggu, dan karenanya tidak ada kekhawatiran apa pun.  Islam di Indonesia, paling aman, bebas dari gangguan apa pun dan dari siapa pun.
Ketika di Timur Tengah ada kekhawatiran terhadap nasib Islam (dan belakangan, sejak 2011 negara-negara yang Islami di Afrika Utara - Timur Tengah bergejolak kemudian satu persatu runtuh -aj-), maka di Indonesia, muncullah perasaan pada sekelompok kaum Muslim bahwa ada ancaman serius terhadap Islam Indonesia (Islam di Indonesia!?). Sehingga mereka semakin giat memunculkan  tuduhan, umpamanya, Kristenisasi, penindasan terhadap umat Islam, dan sebagainya (-aj-).
Ini membuat ada semacam rasa ketakutan terhadap agama lain yang akhirnya menimbulkan reaksi balik, yaitu sikap-sikap agresif terhadap (para pemeluk) agama lain. Di kalangan kaum Muslim tertentu, sikap itu juga muncul secara asertif bahkan galak. Menurut Gus Dur, dalam urutan yang panjang, tampaknya hal ini juga merupakan akibat dari proses pendidikan dan dakwah Islam selama 40 tahun terakhir ini yang cenderung bersifat memusuhi-mencurigai, dan tidak mau mengerti agama lain. Itu tidak hanya dilakukan mubaligh-mubaligh di mimbar, tapi juga guru-guru di sekolah. Sebabnya adalah:
  1. Mereka sedang mengalami masa transisi dari kehidupan tradisional ke kehidupan modern, yang kemudian berdampak pada hilangnya akar-akar psikologis dan kultural. Kita, misalnya, melihat banyak anak anak bahkan juga sampai orang-orang dewasa, walaupun sudah hidup di kota-kota besar, tapi mentalnya masih mental kampung, mereka belum menerima modernisasi secara total. Selalu ada rasa khawatir teralihkan dari agama.
  2. Islam telah dijadikan ajang kepentingan politik dan bendera politik yang dipakai untuk menghadapi orang lain. Ini satu contoh lagi dari proses pendangkalan agama: bahwa kepentingan Islam diletakkan dalam kepentingan yang eksklusif, dan menjadi kepentingan yang pa­ling utama. Maka yang terjadi adalah eksklusivisme agama di kalangan kaum Muslim. Inilah yang selalu diingatkan kepada kita oleh Cak Nur (Nurcholish Madjid). Dan menurut saya, ini pula yang mengakibatkan munculnya peristiwa-peristiwa kl rusuhan yang berkedok agama seperti di Situbondo atau punTasikmalaya beberapa waktu lalu.
Politisasi agama itu sering kali bertolak dari persepsi teologi yang juga tidak selalu benar. Kaum Muslim tidak mampu membaca di mana kepentingan Islam dan di mana pula posisi non-Muslim—secara pukul rata dianggap sebagai musuh atau lawan.
Pernah ada kritik yang dialamatkan kepada karena Gus Dur, iadianggap (kasarnya, dituduh) terlalu dekat dengan kalangan non-Muslim ketimbang dengan kalangan Muslim. Tidak tanggung-tanggung kritik itu menyitir salah satu ayat al-Qur'an bahwa "seharusnya pengikut Nabi Muhammad itu keras terhadap orang kafir dan santun kepada sesamanya" (Asyidda-u 'ala al-mkffitr, ruhama-u bayna hum).1
Dengan mengutip Qur'an, kritik itu tampaknya sangat serius, tetapi kekeliruan yang dilakukannya juga cukup serius. Yang dimaksud dengan "keras terhadap Orang kafir" dalam ayat itu bukan orang-orang non-Muslim,  melainkan kaum kafir yang memerangi agama Islam (dalam konteks ayat itu, kaum kafir Makkah). Sudah tentu ada perbedaan  antara orang non-Muslim dengan kaum kafir yang demikian—katakanlah, kafir kategoris.
Kemudian mengenai ruhama-u bayna hum (santun terhadap Itiumanya), juga dipersoalkan. Nabi Muhammad saw pernah tanyatakan, Law saraqat Fathimatu bintu RasuliMh laqatha'tu yadaha" (seandainya Fatimah anak perempuan Rasul mencuri, maka akan dipotong tangannya).
Apakah sikap Rasul yang demikian itu santun atau tidak? Santun! Karena beliau menyayangkan kalau-kalau Fatimah terjerumus lebih jauh. Tetapi dalam santun itu beliau memotong tangan Fatimah (kalau ia mencuri). Makapertanyaannya: ukuran kedekatan dan kesantunan Itu apa? Apakah kalau tidak menyenangkan satu pihak dianggap tidak san-iwi kepada (umat) Islam? Secara hipotetis, menurut saya, esensi Tiling menyantuni" justru terletak pada sikap-sikap di mana kita bias saling saling mengoreksi sesama orang Islam.
Juga menurut Gus Dur, ada lagi satu ayat al-Qur'an yang sering dikutip (oleh orang-orang Islam) untuk membenarkan sikap dan tindakan anti-toleransi. Yaitu, ayat yang berbunyi: Wahai Muhammad, sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu sampai kamu ikuti agama mereka.2Kata "tidak rela" di sini dianggap melawan atau memesuhi, lalu dikaitkan dengan pembuatan gereja-gereja, penginjilan atau pengabaran injil, dan sebagainya.
Untuk itu, menurut Gus dur, hal tersebut, adalah dua hal yang  berbeda samasekali diletakkan dalam satu hubungan yang tidak jelas.  Padahal kalau masalahnya didudukkan secara proporsional, kita  tidak akan keliru memahami arti "tidak rela" di situ. Tidak rela itu artinya tidak bisa menerima konsep-konsep dasar. Itu ibarat seorang gadis muda yang dipaksa kawin dengan seorang kakek, dia pasti tidak akan rela. Artinya, dia tidak butuh menerima konsep dasar bahwa dia akan berbahagia kalau kaiwin lengan kakek itu. Tapi belum tentu dia melawan atau memusuhi. Dia jalani itu, meskipun tidak rela—seperti Siti Nurbaya yang dipaksa kawin dengan Datuk Maringgih.
Bahwa Kristen dan Yahudi tidak bisa menerima konsep Islam, itu sudah tentu. Sebab kalau mereka rela menerima, artinya bukan Kristen dan Yahudi lagi. Maksudnya, jawaban kebalikan terhadap ayat tadi juga bisa kita buat sama: Wa Ian Utrdlo....dst. Kita tidak rela terhadap Yahudi dan Nasrani; misalnya konsep ketuhanannya, sebab memang sudah beda; tapi itu tidak berarti ada permusuhan.
Sekarang mari kita  periksa dokumen-dokumen yang ada. Di antara butir-butir J Consili Vatikan II tahun 1965 Paus Yohanes ke-23 menyatakan Kami para Uskup yang berkumpul di Vatikan dengan ini menyataktan rasa hormat yang setulus-tulusnya dan penghargaan yang setinggit ingginya kepada pencarian kebenaran abadi menurut cara masinf nosing. Tetapi Kami tetap meyakini bahwa kebenaran abadi itu terletak di lingkungan Gereja Katolik Roma.

Itu jelas. Dan dalam Islam pun begitu. Kita tidak  tidak akan goyang dari konsep tauhid, tapi kita menghargai pendapat orang lain orang lain. Dalam sejarah pun tercatat bagaimana para pendiri bangsa  kita kita dulu bisa menerima bahwa konsep ketuhanan yang  punya hak di Indonesia. Padahal sebagian besar, yakni  5 dari  9 orang, adalah wakil-wakil dari (gerakan) Islam yaitu Bagus Hadikusumo, Abdul Wahid Hasyim, Kahar Mudzakir, Agus Salim, dan Ahmad Subardjo -belum termasuk Soekarno don Muhammad Hatta- sebab keduanya sering dianggap tidak mewakili Islam. Sebegitu jauh sikap lapang mereka, sampai mengakui bahwa semuanya itu ber-Ketuhanan Yang Mahaesa. Tidak ada pengecualian satu pun di situ.

MENGATASI PROSES PENDANGKALAN

Pandangan bahwa orang beragama lain adalah musuh atau lawan sudah demikian menjalar, sehingga orang mudah sekali terpancing untuk membuat kerusuhan-kerusuhan atas nama agama. Kita mengakui bahwa memang telah terjadi proses pendangkalan dalam kehidupan beragama sehingga  mengakibatkan munculnya pertentangan. Kalau ada pertanyaan, apa yang harus dilakukan untuk mengatasi proses pendangkalan itu, jawabannya ada dua:

Pertama, kita harus meyakinkan warga masyarakat agar tidak mudah dihasut. Sebab yang melakukan hal itu jelas tujuannya adalah politik. Kasus kerusuhan di Situbondo atau  Tasikmalaya beberapa waktu lalu adalah contoh bagaiaman eksplisitnya motif politik yang berdiri di belakang. Di Situbondo, misalnya, orang-orang (para perusuh itu) dibayart Rp 10 ribu per orang. Di Tasikmalaya pun begitu. Yang melakukan pembakaran-pembakaran itu adalah orang-orang bertatto dan tukang-tukang ojek yang dibayar. Lha, tukang ojek yang pendapatannya cuma 5 ribu perak setiap hari,  tiba-tiba dapat 25 ribu, siapa yang tidak senang, disuruh merusak lima kali juga pasti mau. Ini, sekali lagi,  adalah masalah pendangkalan agama. Artinya, orang-orang yang pemahaman agamanya dangkal mudah dihasut. Dan ini sama ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Tuhan, melainkan jabatan presiden: ada upaya destabilisasi menjelang pemilihan umum (Pemilu) dalam kerangka pemilihan presiden di Sidang Umum MPR yang akan datang.

Kedua, kita harus menyadari bahwa tugas kita sekarang  twitting berat. Kita berhadapan dengan kenyataan campuran agama dengan politik: kehidupan beragama yang mengalami pendangkalan dan manipulasi politik atas agama.

Kalau keduanya sudah berjalan seiring, maka masalahnya akan semakin ruwet dan tidak akan tertolong lagi. Untuk menghindarkan percampuran antara politisasi agama di satu pihak dan pendangkalan agama di pihak lain, maka caranya adalah (a) mendalami pengetahuan agama kita kembali, dan (b) menyadarkan warga bahwa hubungan antaragama itu seharusnya dijalin atas dasar saling pengertian.

Menurut Gus Dur,  perlu Mengembangkan Rasa Kebersamaan dan Saling Pengertian; dan inilah resep-resepnya.

Inilah yang paling krusial bahwa kita selama ini belum pernah mempunyai program —dalam skala nasional— untuk saling mengerti dan memiliki kebersamaan antarumat beragama. Yang ada sekarang adalah program bertoleransi, bertenggang rasa. Apa yang timbul dari istilah yang dibuat pemerintah memang betul-betul cocok dengan keadaannya: Kerukunan Umat Beragama. Artinya, sekadar rukun saja.

Rukun itu artinya peaceful coexistence: hidup berdampingan secara damai—tapi tidak saling mengerti. Padahal yang harus kita kembangkan adalah rasa kebersamaan dan saling pengertian. Kita bisa menunjuk contoh dekat, umpamanya, soal pendirian gereja. Kalau ada gereja berdiri, orang-orang Islam berteriak. Itu karena mereka tidak mengerti kenapa orang Kristen butuh gereja.

Orang-orang Kristen berbeda dengan kita, kaum Muslim, yang tanpa melihat apakah dari NU atau Muhammadiyah, Sunni atau Syi'ah, tentara atau sipil, ulama atau awam, bahkan malingnya sekalipun, bisa duduk dan shalat bersama di satu masjid. Orang-orang Kristen tidak bisa begitu, karena mereka dibagi-bagi dalam sekte, sinoda, dan aliran-aliran yang berbeda-beda. Tiap aliran butuh gerejanya sendiri-sendiri karena memang ritus dan liturginya berbeda-beda. Jadi kalau tiap sekian kilometer ada gereja, itu tidak aneh. Bukan karena bersaing dengan orang Islam, tapi bersaing dengan sesama mereka sendiri

Ini perlu diterangkan terus-menerus supaya semuanya bertemu. Artinya akan ada titik temu. Mau membangun gereja atau tidak, dasarnya adalah saling mengerti dan bukan saling menolak. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa kalau ada pengertian semuanya tidak akan sulit.

Salah satu mengalah menurut situasi dan kondisi yang ada. Karena itu saya menilai bahwa kita masih memerlukan  adanya satu program  keseluruhan -katakanlah nasional- di kalangan umat beragama untuk menyadarkan dan meningkatkan pengertian sehingga tercapai kebersamaan antara umat beragama. Tetapi, sekali lagi, realisasinya bukanlah semacam wadah kerukunan beragama. Secara pribadi pribadi saya agak skeptis dengan wadah semacam itu.

Sewaktu masih menjadi salah satu Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat saya pernah ditugasi untuk mewakili MUI dalam wadah kerukunan beragama.

Saya tolak itu, karena saya tidak dapat ngomong pura-pura. Saya tidak  mau masuk dalam lingkungan di mana kalau sedang sakit tidak bilang sakit, jika jelek juga tidak berani bilang jelek, semuanya  terlihat baik, dan pada akhirnya tidak ada pembicaraan, tidak terjadi dialog yang diinginkan. Bak penjual kecap, sehabis teriak kecapnya nomor satu lalu tutup telinga. Yang juga demikian, gantian berteriak kecapnyalah yang nomor satu. Begitu selanjutnya. Di situ tidak terjadi dialog. Yang terjadi adalah serimonolog, masing-masing bicara sendiri-sendiri, orang lain tidak didengarkan. Kita tidak membutuhkan dialog model begitu.

Yang dibutuhkan adalah dialog dalam arti yang sebenarnya. Alhamdulillah saya menemukan suasana itu dalam lembaga yang bernama Intervidei atau Dialog Antariman di Yogyakarta. Anak-anak NU ikut aktif di dalamnya pelajari bermacam-macam pemikiran teologis.

Mengambil hikmah dari sejumlah kasus kerusuhan, atas nama agama, ada keinginan lebih kuat lagi untuk berdialog antara umat beragama, untuk berkomunikasi, bahkan kalau bisa dapat bekerja sama secara kongkrit. Karena, masih ada keyakinan bahwa orang itu bisa saling mengasihi, bisa memandang saudara hanyalah kepada mereka yang sama-sama memiliki kesulitan dan sama-sama mengatasi kesulitan, baik kesulitan bersama maupun kesulitan masing- masing.

Gus Dur, pernah melakukan oto kritik kepada umat Islam dan kalangan pemimpin Islam. Mereka, baik dalam kelompok organisasi, lembaga, yayasan, maupun perorangan, masih banyak  yang menganggap tidak penting mengenal agama lain. Mereka mengekspresikan kesalahpahaman mereka tentang konsep ketuhanan agama lain, bahkan menghina keyakinan agama lain. Dan itu menurutnya, menghina Tuhan yang dianggap milik orang lain sesungguhnya juga menghina Tuhan milik kita sendiri. Karena pada dasarnya Tuhan itu hanya satu. Yang berbeda hanya konseptualisasinya.

Menutup tulisannya, Gus Dur bercerita tentang cerita yang terkenal di kalangan sufi tentang salik atau aspiran sufi, yakni pejalan pencari ilmu sufi yang sebenarinya atau makrifat.

Sang saliksowan kepada mursyid, guru pembimbing  sufi. Dalam perjalanan berhari-hari itu dia bertemu dengan seorang beragama Nasrani. Maka berdebatlah mereka  konsep ketuhanan. Akhirnya sang salik mengatakan bahwa, "konsep ketuhanan Anda salah semua, kalau Anda monoteistik Tuhan tidak boleh berbapak Am beranak."

Mereka berpisah. Sang calon sufi terus berjalan dan sampailah dia ditempat sang mursyid. Dia ditolak, tidak mau masuk. Menunggu di depan pintu duduk bersila seharian, ind tidak diterima. Besok paginya dia datang lagi dan menunggu sampai sehari suntuk, tidak juga diterima. Lalu pada hari ketiga datang lagi dengan harapan dapat diterima. Ternyata sang guru tak bergeming untuk menerima calon sufi itu. Merasa tak tahan, salik berteriak nyaring di luar luar agar didengar sang guru, "Guruuu....mengapa guru tidak mau menerima murid-mu, saat muridmu memerlukan guru untuk mendapatkan pegertian yang sebenarnya tentang Tuhan." Dari dalam guru menjawab, "Engkau tidak akan mengerti karena engkau tidak ngopeni zat Tuhan, melainkan hanya 'baju'-Nya Tuhan."

Apa yang bisa dipetik dari kisah sang salik? Menurut Gus Dur, adalah

  • Kalau tidak mengetahui satu sama sama lain, semestinya tidak perlu melakukan kritik, koreksi, atau meluruskan konsep orang lain
  • Kalau itu tetap dilakukan akhirnya berantakan seperti yang terjadi akhir-akhir ini
  • harus ada kesadaran untuk menghormati konsep agama lain
  • Penganut satu agama tidak perlu membicarakan secara negatif konsep agama lain; soal-soal itu menjadi  urusan masing-masing
  • Di dalam semangat kerohanian kita (Islam), sebenarnya di luar konsep ketuhanan juga di luar cara beribadat, konsep-2 kemanusiaan kita, konsep-konsep kegunaan agama bagi kehidupan manusia
  • Tentu perlu diketahui wilayah mana yang menjadi urusan agama masing-masing dan wilayah mana yang terbuka untuk untuk didialogkan.

Semoga bermanfaat untuk semua Jappy Pellokila

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline