Lihat ke Halaman Asli

Setelah Membaca Tafsir Kebudayaan Karya Clifford Geertz

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13257651071092423312

Judul buku : Tafsir Kebudayaan Pengarang  : Clifford Geertz Penerbit     : Kanisius, Yogyakarta, 1992 Tebal         : 282 + xiv halaman (termasuk indeks)

Dalam Tafsir Kebudayaan, Geertz melakukan pendekataan lukisan mendalam,  atau  'thick description' terhadap  kebudayaan. Artinya, pendekatan kebudayaan melalui penafsiran sistem-sistem simbol  makna kultural  secara mendalam dan menyeluruh dari perspektif para pelaku kebudayaan itu sendiri.

Melalui  pendekatan tersebut, pembaca mampu dituntun pada teori interpretatif tentang kebudayaan. Sehingga ia dapat menafsir mengapa, latarbelakang, faedah, fungsi dan  tujuan dari seseorang mempraktekkan unsur-unsur kebudayaan yang ada. Menurut Geertz, kebudayaan adalah sesuatu yang semiotik  atau bersifat semiotis, yaitu hal-hal berhubungan dengan simbol  yang tersedia di depan umum dan dikenal serta diberlakukan oleh masyarakat bersangkutan (hal. 5). Sebab kebudayaan adalah anyaman makna-makna, dan manusia adalah binatang yang terperangkap  dalam jaring-jaring -yang ia tenun sendiri-dari makna itu. Di sini, agaknya Geertz seakan-akan menjadi penerus idea-idea dari Max Weber, yang justru merendahkan derajat kemanusiaan.

Selain itu, kebudayaan bersifat kontekstual dan mengandung makna publik -sebab diterima oleh semua pelaku kebudayaan- karena  sesuai, berkembang, dan dikembangkan oleh pelaku kebudayaan di dan di sekitar lingkungan sosialisasi mereka. Oleh sebab itu, menurut Geertz, untuk mendekati, memahami,  suatu peristiwa  sosial  di tengah kelompok masyarakat  yang mempraktekkan kebudayaan -dan unsur-unsur kebudayaan yang ada di dalamnya- harus dicari melalui hubungan  sebab akibat; dan  memahami  makna yang dihayati pada lingkungan peristiwa sosial itu terjadi.
Di samping itu, menurut Geertz, ada pengaruh sebab akibat antara konsep kebudayaan dan konsep manusia (?). Suatu konsep kebudayaan yang 'diciptakan' oleh penciptanya kemudian diberlakukan, dipertahankan secara  turun temurun, akan membawa  pengaruh  pada konsep manusia yang kemudian. Atau, apa pun yang dilakukan oleh manusia kini -yang menerima dan meneruskan konsep kebudayaan  dari para pendahulunya- dipengaruhi oleh konsep kebudayaan yang di jalankannya

Walaupun demikian, bukan berarti konsep pemikiran manusia tentang  kebudayaan tersebut statis dan  tidak  berkembang. Tetapi justru  karena  perkembangan  kemajuan  manusia, juga mempengaruhi pemikirannya  tentang kebudayaan. Ini berarti terjadi  suatu  evolusi pemikiran  dalam memahami konsep-konsep  kebudayaan. Sehingga  para pelaku kebudayaan terus menerus melakukan perubahan dalam unsur-unsur kebudayaan.  Sekaligus  tetap memberi tempat  pada  perkembangan  dan pertumbuhan  kebudayaan  dan  unsur-unsurnya.

Melalui Tafsiran Kebudayaan, Geertz melakukan pendekatan dari hal yang  umum, kemudian di bawa pada pemahaman yang khusus. Di sini, ia memberikan   contoh   dan perhatian khusus pada praktek-praktek kebudayaan -dan  unsur-unsurnya-, kehidupan religius dan tatanan kultural-religius masyarakat Bali yang kuat. Sehingga walaupun masuknya budaya modern dan sekuler ke Bali  yang mengakibatkan  ada perkembangan dan peralihan konsep pemikiran orang Bali  tentang  kebudayaan, mereka mampu mempertahankan nilai-nilai kehidupan danan tantang kultural-religiusnya. Akibatnya, mereka mampu mempertahankan nilai-nilai tradisional sekaligus mengembangkannya sesuai konteks kemajuan yang berkembang di sekitarnya. Dengan pola mempertahankan sekaligus mengembangkan inilah, yang menjadikan Bali tetap menjadi pusat daerah wisata,  karena adanya obyek-obyek parawisata yang bernuangsa kultural-religius.
Geertz juga menguraikan perkembangan dan pertumbuhan kebudayaan, evolusi pemikiran dari yang primitif kemudian berkembang menuju kemajuan dan  modern. Tetapi, pemikiran dan konsep  modern  tersebut tidak membawa  pada praktek-praktek kebudayaan yang maju. Di  sini, terjadi suatu  praktek-praktek kebudayaan yang meneruskan  tradisi, kebiasaan  lama,  namun diberikan makna baru.  Jadi, maknanya baru, namun prakteknya lama.

TINJAUAN KRITIS

Geertz  yang  mendukung  idea-idea  dari  Max  Weber,  menjadikan manusia  berbudaya seakan binatang yang terperangkap. Jika  demikian, maka  manusia  justru tidak bisa mempunyai upaya  untuk keluar atau bebas dari perangkap kebudayaan. Ia hanya bisa menunggu bantuan dari luar untuk membebaskanya. Jika tidak ada, maka ia akan mati dalam perangkap tersebut. Padahal dalam bagian lain dalam Tafsir Kebudayaan, Geertz menguraikan tentang  adanya  evolusi pemikiran. Ini  berarti jika manusia  mengalami perkembangan pemikiran, peralihan atau  perubahan konsep  karena pengaruh dari luar, maka tentu saja ia mampu  keluar dari perangkap yang menjeratnya atau ada di sekitarnya selain itu, Geertz juga tidak menguraikan dan memberi perbedaan antara konsep kebudayaan dan konsep manusia. Ia  hanya  menunjukkan adanya dampak yang diakibatkan oleh konsep kebudayaan terhadap konsep manusia. Ini berarti, manusia mendapatkan dampak -yang buruk  maupun baik- dari kebudayaan. Hal tersebut perlu dipertanyakan.

Sebab jika kebudayaan merupakan karya manusia, maka konsep-konsep atau nilai-nilai dalam kebudayaan dan  unsur-unsurnya  adalah  juga hasil  pemikiran  manusia. Jadi manusia lah  yang  menentukan  konsep konsep kebudayaan.

Perkembangan  pemikiran, intelektual, kemajuan kehidupan, bahkan perubahan  dalam tatanan sosial manusia, berpengaruh atau berdampak pada penilaiannya terhadap kebudayaan. Jadi konsep kebudayaan  hanya bisa berubah jika karena manusialah yang merubahnya. Jika manusia berkembang maka berdampak juga pada hasil  karyanya, antara lain kebudayaan. Ini berarti, perkembangan manusialah -ada semua aspek- yang berdampak pada konsepnya tentang kebudayaan, bukan sebaliknya.

Dalam  memahami  kebudayaan -khususnya  kebudayaan  Bali-  Geertz memakai  metode yang memahami  makna  secara  umum  dan  universal, kemudian  menuju  ke  hal khusus ini dalam hal ini praktek-praktek kebudayaan Bali. Metode ini yang seharusnya dipakai  untuk memahami kebudayaan suatu suku atau sub-suku yang ada di Indonesia. Pendekatan lukisan mendalam dari Geertz -bukan pendekatan sejarah kebudayaan -  ini seakan seperti suatu bentuk hermeunitis  yang  biasa dilakukan untuk memahami ayat-ayat kitab suci. Jika pada hermeunitis, seorang pelayan meneliti hampir setiap aspek dari teks kitab  suci, maka lukisan mendalam hanya pada mempelajari simbol-simbol budaya yang ada. Ia tidak perlu memahami latar belakangnya, sejarahnya, dan lain-lain, dan ternyata Geertz berhasil dengan baik.

Secara khusus, seorang  penceramah agama yang malas tentu akan melakukan  seperti Geertz, ketika berhadapan dengan  simbol-simbol  kebudayaan  Arab, China, India, Semit, Aram, Mesopotania,  Helenis, dan lain-lain  dalam  kitab suci. Simbol-simbol kebudayaan dalam kitab suci, memang dapat juga  dipahami  melalui pendekatan Geertz, akan tetapi harus dibantu juga dengan  hermeneutis yang baik; hal ini diperlukan agar pelayan tidak 'jatuh'  ke dalam pemamahaman dan pola homilitik yang alegoris.

Akan tetapi, dalam Tafsir Kebudayaan, pendekatan Geertz yang dari umum ke khusus, justru bisa membantu seseorang untuk memahami dan bersosialisasi serta membangun komunikasi dengan komunitas baru.

Jappy Pellokila

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline