Judul buku : Tafsir Kebudayaan Pengarang : Clifford Geertz Penerbit : Kanisius, Yogyakarta, 1992 Tebal : 282 + xiv halaman (termasuk indeks)
Dalam Tafsir Kebudayaan, Geertz melakukan pendekataan lukisan mendalam, atau 'thick description' terhadap kebudayaan. Artinya, pendekatan kebudayaan melalui penafsiran sistem-sistem simbol makna kultural secara mendalam dan menyeluruh dari perspektif para pelaku kebudayaan itu sendiri.
Melalui pendekatan tersebut, pembaca mampu dituntun pada teori interpretatif tentang kebudayaan. Sehingga ia dapat menafsir mengapa, latarbelakang, faedah, fungsi dan tujuan dari seseorang mempraktekkan unsur-unsur kebudayaan yang ada. Menurut Geertz, kebudayaan adalah sesuatu yang semiotik atau bersifat semiotis, yaitu hal-hal berhubungan dengan simbol yang tersedia di depan umum dan dikenal serta diberlakukan oleh masyarakat bersangkutan (hal. 5). Sebab kebudayaan adalah anyaman makna-makna, dan manusia adalah binatang yang terperangkap dalam jaring-jaring -yang ia tenun sendiri-dari makna itu. Di sini, agaknya Geertz seakan-akan menjadi penerus idea-idea dari Max Weber, yang justru merendahkan derajat kemanusiaan.
Selain itu, kebudayaan bersifat kontekstual dan mengandung makna publik -sebab diterima oleh semua pelaku kebudayaan- karena sesuai, berkembang, dan dikembangkan oleh pelaku kebudayaan di dan di sekitar lingkungan sosialisasi mereka. Oleh sebab itu, menurut Geertz, untuk mendekati, memahami, suatu peristiwa sosial di tengah kelompok masyarakat yang mempraktekkan kebudayaan -dan unsur-unsur kebudayaan yang ada di dalamnya- harus dicari melalui hubungan sebab akibat; dan memahami makna yang dihayati pada lingkungan peristiwa sosial itu terjadi.
Di samping itu, menurut Geertz, ada pengaruh sebab akibat antara konsep kebudayaan dan konsep manusia (?). Suatu konsep kebudayaan yang 'diciptakan' oleh penciptanya kemudian diberlakukan, dipertahankan secara turun temurun, akan membawa pengaruh pada konsep manusia yang kemudian. Atau, apa pun yang dilakukan oleh manusia kini -yang menerima dan meneruskan konsep kebudayaan dari para pendahulunya- dipengaruhi oleh konsep kebudayaan yang di jalankannya
Walaupun demikian, bukan berarti konsep pemikiran manusia tentang kebudayaan tersebut statis dan tidak berkembang. Tetapi justru karena perkembangan kemajuan manusia, juga mempengaruhi pemikirannya tentang kebudayaan. Ini berarti terjadi suatu evolusi pemikiran dalam memahami konsep-konsep kebudayaan. Sehingga para pelaku kebudayaan terus menerus melakukan perubahan dalam unsur-unsur kebudayaan. Sekaligus tetap memberi tempat pada perkembangan dan pertumbuhan kebudayaan dan unsur-unsurnya.
Melalui Tafsiran Kebudayaan, Geertz melakukan pendekatan dari hal yang umum, kemudian di bawa pada pemahaman yang khusus. Di sini, ia memberikan contoh dan perhatian khusus pada praktek-praktek kebudayaan -dan unsur-unsurnya-, kehidupan religius dan tatanan kultural-religius masyarakat Bali yang kuat. Sehingga walaupun masuknya budaya modern dan sekuler ke Bali yang mengakibatkan ada perkembangan dan peralihan konsep pemikiran orang Bali tentang kebudayaan, mereka mampu mempertahankan nilai-nilai kehidupan danan tantang kultural-religiusnya. Akibatnya, mereka mampu mempertahankan nilai-nilai tradisional sekaligus mengembangkannya sesuai konteks kemajuan yang berkembang di sekitarnya. Dengan pola mempertahankan sekaligus mengembangkan inilah, yang menjadikan Bali tetap menjadi pusat daerah wisata, karena adanya obyek-obyek parawisata yang bernuangsa kultural-religius.
Geertz juga menguraikan perkembangan dan pertumbuhan kebudayaan, evolusi pemikiran dari yang primitif kemudian berkembang menuju kemajuan dan modern. Tetapi, pemikiran dan konsep modern tersebut tidak membawa pada praktek-praktek kebudayaan yang maju. Di sini, terjadi suatu praktek-praktek kebudayaan yang meneruskan tradisi, kebiasaan lama, namun diberikan makna baru. Jadi, maknanya baru, namun prakteknya lama.
TINJAUAN KRITIS
Geertz yang mendukung idea-idea dari Max Weber, menjadikan manusia berbudaya seakan binatang yang terperangkap. Jika demikian, maka manusia justru tidak bisa mempunyai upaya untuk keluar atau bebas dari perangkap kebudayaan. Ia hanya bisa menunggu bantuan dari luar untuk membebaskanya. Jika tidak ada, maka ia akan mati dalam perangkap tersebut. Padahal dalam bagian lain dalam Tafsir Kebudayaan, Geertz menguraikan tentang adanya evolusi pemikiran. Ini berarti jika manusia mengalami perkembangan pemikiran, peralihan atau perubahan konsep karena pengaruh dari luar, maka tentu saja ia mampu keluar dari perangkap yang menjeratnya atau ada di sekitarnya selain itu, Geertz juga tidak menguraikan dan memberi perbedaan antara konsep kebudayaan dan konsep manusia. Ia hanya menunjukkan adanya dampak yang diakibatkan oleh konsep kebudayaan terhadap konsep manusia. Ini berarti, manusia mendapatkan dampak -yang buruk maupun baik- dari kebudayaan. Hal tersebut perlu dipertanyakan.
Sebab jika kebudayaan merupakan karya manusia, maka konsep-konsep atau nilai-nilai dalam kebudayaan dan unsur-unsurnya adalah juga hasil pemikiran manusia. Jadi manusia lah yang menentukan konsep konsep kebudayaan.
Perkembangan pemikiran, intelektual, kemajuan kehidupan, bahkan perubahan dalam tatanan sosial manusia, berpengaruh atau berdampak pada penilaiannya terhadap kebudayaan. Jadi konsep kebudayaan hanya bisa berubah jika karena manusialah yang merubahnya. Jika manusia berkembang maka berdampak juga pada hasil karyanya, antara lain kebudayaan. Ini berarti, perkembangan manusialah -ada semua aspek- yang berdampak pada konsepnya tentang kebudayaan, bukan sebaliknya.
Dalam memahami kebudayaan -khususnya kebudayaan Bali- Geertz memakai metode yang memahami makna secara umum dan universal, kemudian menuju ke hal khusus ini dalam hal ini praktek-praktek kebudayaan Bali. Metode ini yang seharusnya dipakai untuk memahami kebudayaan suatu suku atau sub-suku yang ada di Indonesia. Pendekatan lukisan mendalam dari Geertz -bukan pendekatan sejarah kebudayaan - ini seakan seperti suatu bentuk hermeunitis yang biasa dilakukan untuk memahami ayat-ayat kitab suci. Jika pada hermeunitis, seorang pelayan meneliti hampir setiap aspek dari teks kitab suci, maka lukisan mendalam hanya pada mempelajari simbol-simbol budaya yang ada. Ia tidak perlu memahami latar belakangnya, sejarahnya, dan lain-lain, dan ternyata Geertz berhasil dengan baik.
Secara khusus, seorang penceramah agama yang malas tentu akan melakukan seperti Geertz, ketika berhadapan dengan simbol-simbol kebudayaan Arab, China, India, Semit, Aram, Mesopotania, Helenis, dan lain-lain dalam kitab suci. Simbol-simbol kebudayaan dalam kitab suci, memang dapat juga dipahami melalui pendekatan Geertz, akan tetapi harus dibantu juga dengan hermeneutis yang baik; hal ini diperlukan agar pelayan tidak 'jatuh' ke dalam pemamahaman dan pola homilitik yang alegoris.
Akan tetapi, dalam Tafsir Kebudayaan, pendekatan Geertz yang dari umum ke khusus, justru bisa membantu seseorang untuk memahami dan bersosialisasi serta membangun komunikasi dengan komunitas baru.
Jappy Pellokila
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H