Aneh dan penuh keanehan atau mungkin saja bodoh serta penuh kebodohan; dan mungkin juga karena tidak tahu dan penuh ketidaktahuan, itu adalah reaksi pertama ku, ketika membaca di beberapa web, mendengar teriakan serta dialog di media elektornik. Reaksi lucu-lucuan itu muncul karena dengan gampang si pembicara [atau nara sumber - penulis, yang saya sebut bodoh dan dungu], menyatakan bahwa perayaan tahun baru, 31 Desember - 1 Januari adalah Hari Raya Kristen-Katolik; oleh sebab itu HARAM dan HARAM serta HARAM untuk diikuti.
[Alasannya], pada Hari Raya itu, kaum salibis, kafir, nasrani, selalu mengisinya dengan pesta pora, pesta sex, mabuk-mabukan, dan berbagai gila-gilaan lainnya. Woooooooouuuuuu LUAR BIASA.
Sungguh prihatin dengan stempel - cap tersebut; dan sangat kasihan terhadap/ke orang yang menyatakan seperti itu, karena dalam ketidaktahuannya ia berani membuat ungkapan fitnah serta kekejian terhadap umat Kristen [Protestan dan Katolik]; dan ini memalukan - memalukan - memalukan.
Secara kebersamaan, Protestan - Katolik, hanya mengenal Hari Raya [sesuai dengan Kalender Liturgi Gerejawi]; hari-hari tersebut adalah
- Natal, merayakan Kelahiran Yesus Kristus
- Jumat Agung, merayakan Kematian Yesus Kristus di Salib
- Paskah, merayakan Kebangkitan Yesus Kristus
- Kenaikan, merayakan Kenaikan Yesus Kristus ke Surga
- Pentakosta, memperingati Peristiwa Turunnnya Roh Kudus
Selain itu, masih ada beberapa hari raya khusus, dan hanya dirayakan oleh Protestan atau pun Katolik; misalnya Hari/Bulan Kitab Suci, Hari/Bulan Pelayanan dan Kesaksian, Hari/Bulan Oikoumenis, Hari Perjamuan Kudus Sedunia, dan lain sebagainya.
Lalu, jika bukan HARI RAYA KRISTEN, mengapa perayaannya didekatkan dengan Natal!? [dan ini juga sebagai dalil banyak orang, bahwa 1 Januari adalah hari raya Kristen, karena perayaannya selalu berlanjut, 25 Desember berlanjut ke 1 Januari].
Pesta Tahun Baru, akhiri tahun sebelumnya dan memasuki tahun yang baru telah dilakukan oleh orang-orang Romawi, Babel, Timur Tengah, Afrika, India, Tiongkok, dan bangsa-2 Eropa kuno, serta suku dan sub-suku di pelbagai penjuru Bumi, jauh sebelum ada Kristen [Katolik].
Mereka merayakan suatu kemenangan-keberhasilan mengikuti [mendampingi dari bumi/tanah] edaran Matahari [dan juga Bulan], dan kini Sang Matahari [Bulan] telah kembali ke tempat semula [ketika mulai berputar]. Manusia, sebagai makhluk bawah/bumi/tanah mengikuti irama edaran Matahari dan penguasa di balik Sang Matahari itu.
Dan sebagai tanda kemenangan-keberhasilan, pada masa lalu, orang-orang di era itu, melakukan berbagai ritual, tarian, persembahan, sesembahan [biasanya berupa buah-buahan - rumput-rumputan - sayur mayur, sebagai lambang tanah yang masih subur dan menghasilkan makanan] kepada Sang Penguasa Matahari, karena masih membiarkan matahari ada untuk menerangi serta mempengaruhi alur hidup dan kehidupan.
Pada sikon kekinian, di sini dan pada banyak tempat di Bumi, model perayaan Tahun Baru seperti pada masa lalu tersebut, tentu telah beralih - mengalami pengalihan bentuk dan isi. Tetapi, merayakan Tahun Baru sebagai sesuatu yang penuh sukacita, masih tetap sama. Ada kegembiraan karena [dengan segala kelebihan - kekurangan serta aneka warna hidup dan kehidupan] masih ada kesempatan untuk melewati dan memasuki [tahun yang lama serta tahun yang baru]
Dan semuanya itu, bukan saja milik si kristen, si protestan, si katolik, si budha, si hindu, dan si serta si yang lain tetapi milik semua umat manusia.