Lihat ke Halaman Asli

Pertunangan

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13349188562004305915

PERSAHABATAN PACARAN dan MASA PACARAN PACARAN GAUL dan PACARAN MENUJU PERNIKAHAN

1338527815194645416

1297986054106228537

Masa pacaran menuju perkawinan biasanya diakhiri atau diteruskan ke jenjang pertunangan [atau langsung ke perkawinan]. Akan tetapi, sebelum mencapai pertunangan, perlu proses untuk mengetahui apakah ia [laki-laki dan perempuan] adalah jodohku atau bukan, yaitu,

  1. Kasih, agape bukan sekedar eros dan philia. Bukan sekedar cinta karena daya tarik erotis tertentu, melainkan kasih yang mempersatukan dan menyempurnakan. Agape harus terbangun di antara laki-laki dan perempuan yang ingin membangun keluarga. Dalam agape ada kesabaran; tidak cemburu; tidak memegahkan diri dan tidak sombong; kesetiaan; ketulusan; saling menghargai; termasuk tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri, dan lain-lain. Agape akan menghantar kedua calon suami-isteri mencapai keterbukaan, ketulusan, dan kesetiaan, saling perhatian, serta meniadakan keegoan, yang nantinya sangat dibutuhkan ketika mereka sudah menjadi keluarga.
  2. Pertimbangan dan persetujuan orang tua. Sesuai UU Perkawinan RI, laki-laki [berumur di atas 19 tahun] dan perempun [berumur di atas 16 tahun] yang akan melangsungkan perkawinan, tidak memerlukan izin orang tua. Akan tetapi, dalam budaya ketimuran [khususnya di Indonesia] masih menghargai peran orang tua pada hidup dan kehidupan anak, sebelum mereka membangun keluarga. Oleh sebab itu, sebagai anak [dan anak-anak], masih membutuhkan pertimbangan dan persetujuan orang tua kedua belah pihak.
  3. Pada lingkungan kebudayaan tertentu di Indonesia, orang tua [bahkan keluarga besar] tetap mempunyai andil cukup besar pada terbentuknya atau tidak suatu perkawinan. Karena, pada konteks itu, perkawinan merupakan pertemuan [menjadikan] dua kelompok keluarga besar dan marga. Sehingga, mereka yang merupakan tetua dan dituakan oleh keluarga besar atau marga patut memberikan persetujuan agar berlangsungnya suatu perkawinan. Dalam kerangka seperti itu, jika mereka [laki-laki dan perempuan yang akan melangsungkan perkawinan] datang dari latar belakang kebudayaan yang berbeda, maka perlu melakukan suatu proses pengenalan unsur kebudayaan masing-masing, yang menyangkut perkawinan. Orang tua hanya memberi pertimbangan dan persetujuan sekaligus merestui, bukan memaksa dan menjodohkan; mereka tidak boleh menolak sekaligus mengkesampingkan pilihan dan kebebasan anak-anaknya.
  4. Kesepakatan bersama untuk pengabdian kepada TUHAN. Ada nilai religius dalam membangun keluarga. Jika, seseorang [laki-laki dan perempuan] adalah jodohku, maka ia dan aku akan mempunyai komitmen yang sama dalam iman, agama, dan peran-peran spiritual lainnya, termasuk pendidikan iman anak dan anak-anak [jika ada]. Dengan itu, jodoh yang relatif tepat adalah mereka yang seiman atau seagama; satu gereja; mempunyai wawasan dan pandangan yang sama mengenai agama.
  5. Adanya ujian-ujian tertentu yang terjadi dalam rangka mengetahui ia sebagai jodohku. Beberapa langkah-langkah ringan dan sederhana [yang diberikan oleh Walter Trobisch] tentang hal tersebut, antara lain
  • Ujian penghargaan. Menghargai dan memberi nilai tinggi kepada karya dan kepribadian masing-masing pasangan.
  • Ujian kebiasaan. Pengenalan kepribadian antara saya dan dia, ternyata "ada kebiasan dia yang saya tidak sukai, dan juga ada kebiasaan saya yang dia tidak sukai." Saya dan dia harus belajar dan berani membuang kebiasaan yang jelek tersebut, untuk mencapai titik temu kebersamaan.
  • Ujian pertengkaran. Pengenalan antara saya dan dia, kadang muncul salah pengertian-salah dengar-salah janji-tidak tepat waktu, dan lain-lain. Semua itu bisa menimbulkan pertengkaran, tetapi bukan diakhiri dengan kebencian dan dendam, namun memunculkan memaafkan dan menerima maaf, dan juga tidak mengulang kesalahan yang sama.
Jika pada interaksi bersama selama masa pacaran maka akan melahirkan berbagai kesamaan, kecocokan, kesepadanan, apalagi jika ditambah lagi dengan mendapat restu dan persetujuan orang atau, maka diteruskan ke jenjang pertunangan [dan nanti menuju perkawinan atau pernikahan]. Ada beberapa hal penting yang terjadi pada masa pertunangan [yang pada saat ini sudah menjadi trend], antara lain
  • Merupakan interaksi yang terbatas dan tertutup antara laki-laki dan perempuan sebelum menikah; hubungan yang lebih mendalam dan intens daripada masa pacaran; berisi pengenalan kepribadian, termasuk hubungan antar orang tua; walaupun pertunangan bukan hubungan pra-nikah yang memberlakukan pasangan seperti layaknya suami atau isteri.
  • Masa pertunangan pun bukan sebagai arena uji coba dan penyaluran nafsu seksual.
  • Pemeriksaan kesehatan; laki-laki dan perempuan [yang telah atau sudah bertunangan], tidak menutupi riwayat kesehatannya. Pemeriksaan kesehatan penting, karena bisa saja pada salah satu pasangan tersimpan penyakit yang dapat mengganggu perkawinan, misalnya tidak bisa mendapat anak; memunculkan anak-anak dengan kelainan gen dan cacad; adanya potensi ganguan jiwa, dan lain sebagainya. Tidak menutup memungkinan terjadi, bahwa hasil pemeriksaan kesehatan berdampak pada putusnya pertunangan.
  • Perencanaan tentang hal-hal setelah pesta pernikahan, misalnya tempat tinggal, isteri tetap bekerja atau tidak, jumlah anak, dan seterusnya.

1338527815194645416

Abbah Jappy P

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline