Lihat ke Halaman Asli

RUU Pemilu Aktivis Tersingkir

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1334216946521371816

[caption id="attachment_174186" align="aligncenter" width="300" caption=""][/caption]

Publik di Indonesia saat ini menyaksikan pembahasan legislatif mengenai RUU Pemilu. Sejauh ini dalam pembahasan mengenai RUU Pemilu yang akan segera disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada, Kamis 12 April 2012 terdapat beberapa poin krusial yaitu terkait sistem pemilu, ambang batas parlemen atau parliamentary treshold, alokasi kursi di setiap daerah pemilihan dan metode konversi suara untuk menetapkan kursi. Beberapa poin tersebut masih didalami dan menunggu proses penetapannya.

Ada beberapa hal yang nampaknya hilang dari proses penetapan RUU Pemilu kali ini dibanding proses pembentukan RUU pemilu pada periode-periode sebelumnya. Salah satunya adalah kecilnya suara dari kelompok penekan dan kelompok kepentingan yang merepresentasikan adanya input dan aspirasi dari kelompok masyarakat sipil. Dominasi partai politik dalam pembahasan RUU Pemilu kali ini nampak lebih dominan. Bisa jadi ini mencerminkan kejenuhan publik terhadap proses politik praktis yang berjalan di republik ini, atau bisa juga karena terjadi pelemahan gerakan masyarakat sipil.

Indonesia sebagai negara demokrasi tentunya dalam laku kehidupan bernegara sudah semestinya mencerminkan watak dan penerapan sistem serta mekanisme politik yang demokratis. Tentu hal tersebut bukan hal yang tidak bisa dinilai dengan indikator-indikator yang nyata. Secara umum sebuah negara demokrasi paling tidak mempraksiskan sistem pemilu yang jujur dan adil (free and fair elections), kedua adanya perlindungan hak sipil dan politik, ketiga adanya pemerintahan yang bersih, bertanggung jawab dan transparan serta selanjutnya adanya kekuatan masyarakat sipil yang kuat.

Pembahasan RUU Politik sangat bisa dilihat sebagai barometer apakah Indonesia masih demokratis atau sudah beranjak kepada dominasi politik baru dalam model dan bentuk sitem pemilu yang terjadi.

Ada dua hal yang membuat publik dan elemen masyarakat sipil semestinya tetap kritis dan berani menyuarakan aspirasi demokratis terhadap sistem yang pemilu yang berjalan. Pertama jika sistem pemilu diputuskan dengan proporsional terbuka dengan suara terbanyak maka yang terjadi ada mekanisme demokratis yang memang mendekatkan preferensi pemilih sebagai basis teori yang mendukung tetapi disisi lain terdapat ekses mahalnya biaya politik yang memarginalkan individu warga negara yang potensial untuk menjadi wakil rakyat tetapi kurang memiliki sumberdaya ekonomi akan tersingkir tidak bisa ikut dalam kontestasi politik.

Sistem yang ada tersebut sebagaimana dalam praktek pemilu 2009 menghasilkan wakil di parlemen yang nampaknya belum dapat menjamin akses kandidat kurang dana untuk bisa bertarung. Calon anggota parlemen yang kaya dan terkenal seperti artis akan lebih diuntungkan sementara yang lain seperti aktivis yang giat di partai maupun yang sering memberikan dedikasi sosial yang baik di masyarakat akibat tidak memiliki sumber daya ekonomi yang kuat akan tersingkir, kecuali pada akhirnya ia bisa menggalang dana kampanye dengan penggalangan dana tertentu yang seringkali pada akhirnya menjadikan yang terpilih tidak leluasa terhadap penetrasi golongan pemilik modal. Itulah fakta-fakta yang terjadi dalam sistem suara terbanyak seperti yang selama ini sudah berjalan.

Fakta politik ini sudah sama dirasakan pada pemilu 2009 yang lalu dimana sistem yang dipakai adalah proporsional terbuka dengan suara terbanyak membawa konsekuensi dan dampak kecenderungan pertarungan bebas bahkan di internal partai politik sekalipun, seperti perebutan antar caleg dalam satu partai politik. Secara umum pemberlakuan proporsional terbuka dengan suara terbanyak tidak menguntungkan bagi aktivis baik partai maupun sosial yang tidak memiliki sumberdaya ekonomi yang kuat meskipun ada beberapa yang sanggup melalui tantangan sistem pemilu yang ada.

Dengan tetap dipilihnya sistem suara terbanyak dapat diparalelkan dengan masih berkuasanya status quo kekuatan yang ada di pentas politik kepartaian secara nasional. Kalaupun ada perubahan maka tidak akan menyentuh hal-hal yang fundamental dan besar. Kecuali terjadi perubahan transformatif nasional oleh anasir di luar partai politik.

Artinya tidak banyak perubahan signifikan yang akan membawa perubahan nasib dan peningkatan kesejahteraan publik secara signifikan tentunya jika berkaca pada gerak yang terjadi dalam sistem politik yang ada itu. Pilihan publik untuk peningkatan kesejahteraan tentu harus dengan format dan model baru, sebuah gerakan sosial transformatif baru seperti kebangkitan gerakan demokrasi ekonomi. Gerakan demokrasi ekonomi inilah yang saat ini menjadi tren global seiring dengan semakin bermasalahnya ekonomi yang ditopang oleh sektor private. Mengandalkan parlemen saja akan sedikit memberi dampak peningkatan kesejahteraan publik. Sebagaimana apa yang diungkapkan oleh tokoh sosialis Eropa Fritz Andler: "seorang pengemis yang lapar tidak akan menjadi kenyang perutnya hanya dengan diberi undang-undang". Gerakan demokrasi ekonomi lah yang lebih menantang bagi aktivis sosial yang tersingkir dari akses atas kontestasi dalam sistem politik yang ada. Semoga bermanfaat.

Janu Wijayanto, S.Ip (Staf Kajian Kebijakan Publik LSP2I Jakarta)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline