Lihat ke Halaman Asli

Pengalaman Membangun Hutan Hak di Lahan Gambut

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13671167271612622840

“Perlu waktu ± 18 tahun untuk melakukan penanaman dan pemeliharaan lahan ex kebakaran menjadi Hutan dengan pohon setinggi sekitar 20 m dan berdiameter 50 cm.”
Awalnya datang tawaran dari seorang penduduk lokal yang menawarkan sebidang tanah bersertifikat yang terletak di ruas jalan negara Palangka Raya – Banjarmasin, tepatnya di km 31 dari Kota Palangka Raya. Lokasi lahan tersebut berada di desa Tumbang Nusa, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau. Lokasi lahan tersebut saat ini berdampingan dengan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) yang dikelola Badan Litbang Kementrian Kehutanan.
Pada saat dibeli tahun 1998 luas lahan sekitar 8 hektar atau sekitar 80.000 m2 , kondisi lahan saat itu dalam keadaan bekas terbakar hebat, sehingga yang tersisa saat itu hanyalah tunggul-tunggul kayu, tanah yang hitam dan lahan yang kering kerontang. Memang kawasan Tumbang Nusa saat itu adalah kawasan yang memiliki karatetristik lahan gambut dengan kedalaman mencapai 12 m.
Kondisi lahan yang terbakar saat itu, tidak sekedar menyebabkan hilangnya vegetasi yang ada diatasnya, tapi juga menyebabkan kerusakan pada tanah yang cukup berat, sehingga upaya pemulihan lahan akan memerlukan perhatian khusus. Lebih dari itu pula kawasan Tumbang Nusa, merupakan kawasan yang selalu menimbulkan masalah sejak terbukanya jalur jalan darat dari Palangka Raya- Banjarmasin, karena jalan yang dibuat membelah kawasan hutan gambut, yang rentan mengalami masalah bila kawasan tersebut terbuka. Salah satu masalah utama adalah kebakaran lahan.
Berbekal tekad dan semangat serta pengetahuan sebagai seorang rimbawan, dengan penuh keyakinan mengambil alih lahan terbakar dan terlantar tersebut. Tujuanya bukan untuk dijadikan kebun atau areal pertanian, namun untuk membuktikan adanya teori suksesi sekunder. Bahwa kawasan yang sebelumnya tak bervegetasi, sejatinya mampu melakukan suksesi alami bertahap.
Sebagaimana diketahui, bahwa suksesi sekunder terjadi bila suatu komunitas mengalami gangguan, baik secara alami maupun buatan. Gangguan tersebut tidak merusak total tempat tumbuh organisme sehingga dalam komunitas tersebut substrat lama dan kehidupan masih ada. Contohnya, lahan hutan yang mengalami kebakaran, penebangan hutan dan pembakaran padang rumput dengan sengaja.
Langkah awal yang dilakukan untuk membuktikan suksesi tersebut, maka kawasan tersebut harus terhindar dari ancaman kebakaran lahan. Untuk itu, maka kawasan kemudian diberi batas pencegah kebakaran, dengan membuat parit batas selebar 1 meter dan kedalaman parit 1 meter, namun parit pada bagian depan tidak tersambung dengan parit yang memanjang jalan negara. Maksudnya agar parit selalu tergenang dan lahan dalam kondisi basah.
Beruntung saat itu ada seorang penduduk lokal yang tinggal sekitar 500 m dari lokasi lahan (Bpk. Gunawan) yang bersedia membantu membuatkan parit dan bersedia untuk membantu secara insidentil memelihara lahan tersebut dengan imbalan upah.
Setelah parit selesai dibuat, maka pekerjaan berikutnya adalah mulai melakukan penanaman dengan tanaman keras, antara lain 30 batang tanaman karet, balangeran, mahang, jelutung, meranti rawa, galam tikus, dan puluhan tanaman hutan lainnya. Tanaman tersebut selalu dijaga untuk dapat tumbuh dan tidak terbakar.
Pada bulan berikutnya, mulai muncul beberapa tanaman perintis seperti rumput-rumputan dan tumbuhan pakis yang mendominasi semua kawasan. Rumput dan tumbuhan pakis dibiarkan tumbuh dan dijaga tidak terbakar. Tumbuhan perintis itu mulai mengadakan pelapukan pada daerah permukaan lahan, sehingga terbentuk tanah sederhana. tumbuhan perintis mati maka akan mengundang datangnya pengurai. yang terbentuk karena aktivitas penguraian bercampur dengan hasil pelapukan lahan membentuk tanah yang lebih kompleks susunannya. Dengan adanya tanah ini, biji yang datang dari luar daerah dapat tumbuh dengan subur. Kemudian rumput yang tahan kekeringan tumbuh. Bersamaan dengan itu tumbuhan herba pun tumbuh menggantikan tanaman pioner dengan menaunginya. Kondisi demikian tidak menjadikan pioner subur tapi sebaliknya.
Sementara itu, rumput dan belukar dengan akarnya yang kuat terus mengadakan pelapukan. Bagian tumbuhan yang mati kemudian mengalami penguraian dan pelapukan, sehingga lapisan tanah menjadi lebih tebal. Selanjutnya di atas serasah yang tebal, mulai tumbuh semak. Kumpulan semak tersebut kemudian menaungi rumput, yang kemudian mengakibatkan kompetisi. Lama kelamaan semak menjadi dominan. Stelah itu semak, tumbuh menjadi pohon kecil, bertambah jadi sedang dan besar yang menekan kumpulan semak dan belukar dibawahnya. Lambat laun, terbentuklah aneka jenis pohon dengan beragam ukuran dan tinggi, lalu terciptalah sebuah hutan.
Singkat kata, saat ini lahan seluas 80.000 m2 yang sebelumnya bekas terbakar dan tanpa vegetasi, saat ini sudah ditumbuhi secara keseluruhan dengan aneka tanaman hutan yang tumbuh secara alami mengikuti pola suksesi. Bila berkesempatan berkunjung kekawasan tersebut, maka dari pinggir jalan lintas Kalimantan, kita dapat melihat kawasan hutan dengan beragam tumbuhan dengan tinggi mencapai lebih ± 20 m dan diameter mencapai ± 50 cm.
[caption id="attachment_240511" align="alignnone" width="300" caption="Beragam Pohon Rawa Gambut di Lahan Hak Tumbang Nusa"][/caption] [caption id="attachment_240515" align="alignnone" width="1000" caption="Hutan Hak Milik Yang Teduh dan Nyaman"]

13671175601845762062

[/caption]
Sejak tahun 2009, telah dilakukan perkayaan dengan beragam tanaman langka lainnya seperti ulin, jelutung, dan meranti, gaharu, beberapa tanaman herbal (pasak bumi, tabat barito, akar kuning) tanaman buah khas Kalimantan seperti Tanggaring,cempedak dan papaken.
Sejak awal dipelihara, ditanam dan dirawat, inilah kawasan lahan yang tak satu rupiah pun ada dukungan dari lembaga dalam dan luar negeri, baik dari pemerintah pusat dan daerah, semuanya menggunakan biaya pribadi.
Jujur, upaya pembangunan hutan di lahan milik ini, tidak terkait dengan adanya berbagai wacana yang berkembang terkait dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan seperti jasa kawasan sebagai penyimpan dan penyerap karbon. Karena proses pembangunan hutan milik tersebut jauh sebelum adanya konsep tersebut berkembang. Meski telah 18 tahun dilakukan pemeliharaan, ternyata lahan tersebut belum bisa memberikan manfaat secara ekonomis. Namun, tujuan pembangunan hutan hak di lahan gambut yang dilakukan, bukan mengejar aspek ekonomis, tapi lebih bersifat ekologis dan tanggung jawab moral pada lingkungan hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline