Lihat ke Halaman Asli

Sekolah dan Nasionalisme

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kemarin sebuah pesan singkat melalui group whatsapp dari salah seorang teman masuk ke layar ponsel saya, isinya kurang lebih begini : "..biasanya kita memilih sekolah buat anak kita karena pendidikan agama, budget dan sebagainya. pernahkah terpikir ternyata di sebuah sekolah swasta tidak diajarkan lagu Indonesia Raya dan upacara bendera?"

Pertanyaan kritis ini menggugah hati dan pikiran saya sebagai orang tua. Anak saya yang pertama tahun depan akan masuk SD. Dia sudah saya daftarkan pada sebuah sekolah dasar yang dikenal cukup bagus di lingkungan tempat tinggal saya saat ini. Biaya masuknya lumayan besar untuk ukuran saya yang berprofesi sebagai PNS. Sepertinya hampir sama dengan SPP satu semester pada tingkat magister di perguruan tinggi negeri, saat saya kuliah S2 dulu. Padahal saya saat itu merasa tidak akan bisa lanjut ke tingkat magister kalau dengan biaya sendiri, untungnya tiba-tiba ada penawaran beasiswa dari kantor yang langsung saya sambar. Tapi untuk anak biaya besar bukan masalah selama rejeki lewat jalan halal masih bisa diusahakan.

Pertimbangan utama bagi saya saat memilih sekolah adalah kesesuaian nilai yang diajarkan di sekolah dengan yang saya yakini sebagai modal dasar anak saat dewasa kelak. Pertimbangan lainnya adalah soal perkiraan kesesuaian pola pengajaran dan pendidikan di sekolah dengan karakter anak saya. Akhirnya pilihan jatuh pada sekolah yang kebetulan berlabel "Islam".

Saya sebenarnya tidak terlalu cemas bahwa sekolah pilihan saya untuk anak saya itu bakal tidak akan mengajarkan lagu-lagu nasional atau upacara dalam program pengajarannya. Saya lebih cemas jika anak saya tidak diajarkan kejujuran dalam proses belajarnya di sekolah. Saya juga lebih cemas lagi jika anak saya kebetulan karakternya rentan di-bully masuk dalam lingkungan yang memungkinkan teman/kakak kelasnya melakukan bullying karena kurangnya pengawasan sekolah. Dan rupanya saat ini kecemasan saya tidak akan mungkin bisa dijawab dengan hanya menyerahkan anak-anak ke sekolah begitu saja.

Kita akan dengan mudah menemukan anak-anak kita lancar menyanyikan lagu Indonesia Raya dan hafal lagu-lagu perjuangan, jika kita menyekolahkan anak-anak di sekolah-sekolah negeri milik pemerintah. Kurikulumnya pasti bersifat nasional dan mencakup semua golongan, tidak eksklusif agama tertentu, tidak condong pada strata masyarakat tertentu. Namun kebijakan pemerintah, dalam hal ini kementerian pendidikan, menjejalkan berbagai kemampuan bidang studi pada anak sungguh membuat anak menjadi mudah lelah dan terlalu berorientasi pada capaian akademis. Terlebih lagi kebijakan pemberlakuan Ujian Nasional, yang setahu saya, menjadi standar kelulusan membuat daerah berlomba-lomba me-100persen-kan kelulusan siswanya. Dengan berbagai macam cara digunakan, termasuk dengan menekan sekolah dan guru untuk menghalalkan berbagai cara agar siswa-siswanya lulus 100 persen, termasuk dengan mendorong siswanya tidak jujur dengan mengatur strategi saling mencontek (ingat kasus Alif di tahun 2011, siswa sebuah SDN di Surabaya yang dihujat para ortu siswa lainnya karena menolak memberikan contekan?)

Di sekolah-sekolah negeri memang anak-anak kita akan lancar menyanyikan lagu Indonesia Raya, namun apakah ini adalah jaminan mereka akan menghayati makna nasionalisme? Mereka juga akan rutin menjalani upacara bendera, di mana mereka akan selalu bersama-sama melafalkan sila-sila Pancasila dan mendengarkan Pembukaan UUD 1945, namun apakah dengan begitu mereka akan tumbuh menjadi warga negara yang siap membela kepentingan negerinya ketika mereka dewasa kelak? Padahal para pendiri bangsa kita, yang tidak diragukan rasa patriotismenya, malah belum diajarkan menyanyikan Indonesia Raya saat masih duduk di bangku pendidikan dasar, karena saat itu memang belum ada Indonesia Raya.

Di sisi lain, sebagian sekolah-sekolah swasta mahal mungkin cenderung abai dengan persoalan menanamkan nasionalisme bagi anak-anak didiknya. Mereka cenderung berlomba-lomba menawarkan metode-metode pendidikan yang diklaim sesuai dengan pola multiple intelligence, yang tidak terlalu mendewa-dewakan kecerdasan kognitif anak namun justru mengklaim bisa "menemukan" bakat dan kecerdasan anak di bidang-bidang lain di luar kecerdasan di bidang akademik. Mereka mengklaim bahwa proses pendidikan di sekolah akan menanamkan karakter-karakter mulia seperti jujur, kreatif, cerdas emosi dan cerdas sosial. Ironisnya ketika di rumah pola interaksi yang diciptakan orang tua bertolak belakang dengan karakter mulia itu. Contoh paling mudah adalah ketika ada tamu yang tidak diinginkan, anak diminta memberitahu pada sang tamu bahwa ortunya tidak ada di rumah padahal ortunya sedang membaca koran di kamar.

Saat ini juga mudah kita temui sekolah-sekolah yang berlomba-lomba menawarkan fasilitas yang menggiurkan, gedung ber-CCTV, ber-AC di setiap ruang kelasnya, tiap kelas didampingi tidak hanya oleh seorang guru namun dua orang atau lebih. Semuanya diganjar dengan biaya yang tidak murah. Namun ironisnya sekolah tidak bisa memberikan jaminan bahwa sang anak bisa bebas dari bullying atau perilaku menyimpang oknum di sekolah. Masih segar dalam ingatan kita kasus Renggo yang dianiaya kakak kelasnya karena menjatuhkan pisang (baca ini) dan kasus di pelecehan seksual di salah satu sekolah internasional di Jakarta (baca ini)

RUMAH HAKIKATNYA ADALAH SEKOLAH UTAMA ANAK

Apa pun sekolah yang kita pilihkan untuk anak-anak, apa pun nilai yang ingin kita tanamkan buat anak, apakah lebih bertitik berat pada paham nasionalisme atau karakter-karakter mulia, semuanya kembali pada apa yang kita ajarkan dan contohkan di rumah. Alih-alih mendorong anak untuk rajin ikut upacara dan lancar menyanyikan Indonesia Raya, sebaiknya kita memberikan contoh mereka untuk aktif membagikan kemampuan yang kita miliki bagi masyarakat di sekitar tempat tinggal kita. Bisa aktif dalam organisasi kemasyarakatan di tingkat RT/RW atau berkontribusi terhadap pemberdayaan lingkungan hidup di sekitar kita. Mengajak mereka berpikir kritis terhadap sejarah bangsa dengan membandingkannya dengan kemajuan bangsa lain, dengan memilihkan bacaan-bacaan sehat tentang sejarah bangsanya dan meletakkan dalam rak buku di rumah kita. Aktif memilih dalam pemilu (atau golput?) dan mengatakan pada anak-anak bahwa ini salah satu cara kita bertanggung jawab terhadap nasib 230 juta rakyat Indonesia yang lain (jangan lupa bersiap-siap dengan pertanyaan kritis mereka tentang apa hubungannya).

Tentu sebagai orang tua kita juga harus memberikan contoh karakter mulia yang ingin kita tanamkan pada anak-anak. Jika ingin anak-anak kita jujur tentu kita tidak boleh mengais rejeki dengan cara korupsi kan? Atau yang lebih sederhana lagi, kita tidak perlu berbohong pada anak bahwa kita sedang sibuk saat mereka mengajak kita bermain , padahal kita sedang sibuk fesbukan dengan gadget kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline