Lihat ke Halaman Asli

Januari Sihotang

Dosen Ilmu Hukum/Konten Kreator

Mahkamah Konstitusi Bukan Mahkamah Kalkulator

Diperbarui: 23 Juli 2023   16:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 85/PUU-XX/2022 menjadi babak baru dalam penyelesaian sengketa pemilu dan pilkada di Indonesia. Putusan ini berawal dari permohonan uji materi yang diajukan Perludem terkait Pasal 157 ayat (1), (2), dan ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (selanjutnya disebut UU Pilkada). Jika sebelumnya pemilihan umum dibedakan dengan pemilihan kepala daerah melalui Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013, maka kini  pemilu disamakan dengan pilkada.

Setidaknya ada empat dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut MK) memutuskan demikian, yakni: 1). Secara de facto dan de jure, pilkada dan pemilu diselenggarakan lembaga yang sama; 2). Prinsip-prinsip dalam pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 juga diterapkan dalam pilkada; 3). UU yang mengatur lembaga penyelenggara pemilu ini secara normatif tidak membedakan antara penyelenggaraan pemilu dengan pilkada; 4). Secara sumberdaya, menyamakan pemilu dan pilkada lebih efisien karena diselenggarakan oleh lembaga yang sama.

Dengan mempersamakan pilkada dan pemilu, maka merujuk Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, MK menjadi satu-satunya lembaga penyelesaian sengketa hasil pemilu dan pilkada. Secara otomatis, keberadaan Badan Peradilan Khusus Pilkada yang sebelumnya diamanatkan Pasal 157 UU Pilkada menjadi tidak relevan lagi.

Problematika Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu

Sayangnya, proses penyelesaian sengketa pemilu di MK sendiri masih menyisakan beragam persoalan. Permasalahan utama adalah apakah MK hanya sebatas mengadili permasalahan perhitungan suara atau dapat terlibat lebih jauh dalam mengadili bahwa hasil pemilu tersebut diperoleh melalui proses pemilu yang konstitusional? Memang jika diruntut sejarah pembentukan MK di berbagai negara, fungsi awal dan utama MK pada umumnya adalah sebagai lembaga judicial review UU terhadap konstitusi. Bahkan menurut risalah sidang penyusunan UUD 1945 di BPUPKI, ide yang sama juga disuarakan Muhammad Yamin, yakni MK merupakan lembaga penguji UU terhadap UUD.

Demikian juga ketika sidang pembahasan perubahan UUD 1945 (1999-2002), MK pada awalnya diusulkan untuk memiliki tiga kewenangan yakni hak uji materil undang-undang, memberikan putusan terkait sengketa kewenangan antarlembaga tinggi negara dan menjalankan kewenangan lain yang diberikan UU. Kewenangan MK untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu kemudian lahir dari kewenangan ketiga. Walau pada akhirnya UUD NRI Tahun 1945 mengatur kewenangan MK untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu (Refly Harun, 2017).

Pemilihan frasa 'perselisihan hasil pemilihan umum' dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 juga masih menyisakan beragam penafsiran. Tak sedikit yang menafsirkan bahwa frasa perselisihan hasil pemilihan umum lebih spesifik dari masalah pemilu, perkara pemilu maupun sengketa pemilu. Berdasarkan penafsiran tersebut, maka MK tidak perlu mengadili terlalu jauh proses pemilu, tetapi hanya pada perselisihan perhitungan suara.

Dengan keberadaannya sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution), seharusnya setiap kewenangan MK, termasuk kewenangan menyelesaikan 'perselisihan hasil pemilihan umum' harus dimaknai dalam kerangka menjaga dan menegakkan konstitusi. 

Dalam konteks pemilu, maka MK  harus  menjaga dan menegakkan pemilu yang konstitusional. Pemilu yang konstitusional adalah pemilu yang dilandasi nilai-nilai yang tercantum dalam UUD NRI Tahun 1945, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Namun dalam praktiknya, MK ternyata tidak konsisten. Pada satu sisi,  MK kukuh untuk mengadili sengketa hasil, namun di sisi lain beberapa putusan MK juga berhubungan dengan penyelesaian sengketa proses.

Syarat Ambang Batas Pilkada

Permasalahan lain yang masih perlu dibenahi oleh MK adalah pemberlakuan syarat ambang batas selisih suara dalam mengajukan permohonan sengketa hasil pilkada. Berdasarkan ketentuan Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016, peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan sebagai berikut: 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline