Lihat ke Halaman Asli

Heresi Sang Pastor Tua

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(Cerpen: Januario Gonzaga)

Sang pastor tua telah mati begitu berita yang beredar. Dari hasil otopsi dinyatakan bahwa beliau mati wajar. Jantungnya berhenti berdetak beberapa jam lalu. Tidak ada penyakit kronis selain kadar kolesterolnya yang naik turun. Sesudah meninggal tugas-tugas terakhirnya mulai lagi dibuka. Beberapa kliennya datang untuk memberi hormat. Tetapi kasak-kusuk kematian yang wajar ini menyebar luas. Mereka mencari-tahu sebab musabab pastor yang baik ini meninggal. Ada yang bilang dia meninggal karena kecapean kerja. Ada juga yang bilang dia sudah cukup umur. Penyakit. Hanya itu.

“Ah kasihan pastor tua” komentar salah satu ketua dewan stasi.

“Ya dia telah berjasa besar untuk warga di sini” seorang yang lain menyambangi.

“Semoga dia menjadi pendoa bagi kita” lanjut yang lebih tua.

Rumor kematian beliau yang misterius akhirnya ditutup dengan cerita tentang segala kebaikan yang pernah beliau buat semasa hidupnya. Cerita tentang nasihatnya yang bijak. Cerita tentang anak-anak asuhnya yang sudah banyak tamat perguruan tinggi. Cerita tentang bantuan yang ia berikan kepada masyarakat. Kematian ini akhirnya menjadi kesedihan dan kehilangan yang sangat dalam.

Mulailah hari pemakaman itu tiba. Semua umat yang pernah dilayaninya, kenalan, klien, sahabat, kaum klreus turut-serta dalam upacara ritual pemakaman itu. Sesudah itu mereka pulang dengan rasa bangga. Kesedihan telah hilang betul dari raut wajah pelayat. Semua berbicara dengan bangga dan membuka-buka pengalamannya yang membahagiakan dengan sang pastor. Tidak ada lagi yang bersedih. Singkatnya kehidupan sang pastor telah dipahat secara indah dalam benak para pelayat. Hanya saja di sudut pemakaman jauh dari banyak orang, seseorang anak dengan tangisan kecil tak mau menghiraukan rajukan mamanya untuk meninggalkan kuburan. Semua tidak menangis hanya dia, seorang bocah. Bocah kecil sekali.

* * *

Baru dua tahun lalu dia merayakan pesta perak imamatnya. Maka tidak salah juga kalau ia dikenal sebagai pastor tua atau opa pastor. Sebutan ini ramai di kalangan orang-orang yang kenal siapa pastor tua. Nama itu bahkan akrab di telinga anak-anak yang dipanggilnya cucu. Malam itu dia berandai, bila dia bisa pergi jauh dia sudah tentu mengemas barang-barangnya dan langsung pergi. Dan bahkan akan senang hatinya bila terlepas begitu saja dari situasi yang seperti sekarang ini. Bila orang menyodorkan pilihan-pilihan dia tidak memilih karena risiko tetapi asalkan bisa jauh dari apa yang menyakitkannya sekarang. Untuk sekarang saja segala sesuatu harus terjadi. Begitulah suasana bathin pastor tua suatu ketika.

“Saya sudah bosan” Begitu pikirnya setiap kali dia bertemu orang-orang yang sama meminta nasihat darinya datang dan pergi. Tetapi dia tidak mungkin membilangkeluar dari mulutnya kalimat itu. Dia tentu tahu, jika sudah dianggap baik, maunya tetap dianggap baik. Dia mau menikmati privilese yang kata orang-orang mahal harganya. Makanya dia pilih berdiam. Karena itu sebagai ganti dia pergi mengambil sebotol minum di belakang. Lalu dia kembali dengan raut wajah ceria dan siap dengan kata-kata nasihat yang sudah lama dipelajarinya. Maka itu orang-orang tiada bosan berbondong-bondong mengerumuninya memantik mulutnya supaya mengasapkan ribuan kebaikan yang sudah beranak-pinak di rahim hatinya. Mereka senang dengan apa-apa saja yang diucapkannya. Entah itu bila sedang sedih, bahagia atau di waktu apa pun. Dia mahir memberi jalan keluar. Dan orang-orang dengan segala pangkat, segala tanggung jawab, profesi akan singgah di malam hari di pastoran (tempat tinggal pastor). Mereka akan membawa serta buah-buahan yang katanya sangat baik untuk kesehatan orang setua pastor tua.

Orang-orang jadi kasihan padanya akhir-akhir ini. Mereka bingung kalau orang seperti dia saja bisa sakit. Fisiknya besar ditambah imannya yang kencang. Janggutnya tipis saja. Rapi dan necis rupanya. Di bagian depan bajunya disisipkan sebuah salib kecil. Mugnkin itu salib yang dibaliknya tertera nama salah satu ordo yang dipilihnya setamat seminari menengah dulu. Orang-orang selalu kagum kalau dia diundang berbicara. Kata-katanya tentu menyaingi pamor gubernur apalagi bupati. Banyak sekali yang mengenalnya. Tua, muda, kecil, miskin, kaya, bodoh, pintar. Siapapun yang pernah datang padanya ingat betul nasihatnya yang begini “kalian jangan menjadi seperti orang yang munafik. Kalian tidak boleh putus asa. Kalian punya hidup syukurilah hidup itu”. Dan banyak orang menjadi teguh karena ucapannya yang dahsyat. Memang kata-katanya biasa kita dengar. Tetapi lain kalau keluar dari mulutnya. Seluruh daya dari kata-kata itu serasa ikut terlontar dan tertancap pada otak dan hati audiens.

Namun saat ini dia sedih. Terlebih lagi saat kata-katanya menjadi begitu kuat memengaruhi orang-orang. Saya tidak bisa menipu diri, begitu pikirnya. Tetapi tetap dia harus melayani banyak orang. Dan kali ini dia begitu gelisah harus memberi jalan keluar bagi seorang anak. Sudah dengan gelisah anak itu menunggu giliran untuk bercerita pada sang pastor tua. Kalau dipikir-pikir, sang pastor tua tidak terlalu peduli pada anak seumur dia. Biasanya mereka hanya mengeluh soal nilai yang buruk di sekolah, teman-teman yang nakal, mama yang suka cubit telinga. Itu saja, sehingga gampang.

“Kamu kelihatan belum makan” begitu dia bertanya kepada anak kecil yang muram mukanya.

“Saya sudah makan. Saya sedang kesal dengan mama”. Sang pastor mendengar dengan cara yang mudah dipahami oleh si anak. Dialog akrab itu berakhir saat sang anak berdiri dan langsung berlari dengan raut yang tak tertebak. Dia pulang dengan mengingat beberapa pesan pastor.

Malam ini sang pastor tua belum bisa tidur. Dia mulai masuk ke kamar dan memeriksa beberapa surat dari kliennya. Mereka menulis tentang masalah yang hampir sama. Bagaimana kami harus memilih. Keluarga kami sebentar lagi hancur. Saya harus memilih rumah, anak-anak, atau tanah. Lain lagi berkeluah soal masa depannya yang rumit. Bagaimana saya harus menjalani kehidupan saya. Telefon berdering. Di seberang seseorang berbicara bahwa orang tua mengharapkan dia menjadi seorang dokter. Sedangkan dia sendiri ingin menjadi guru. Demikian masalah ini selalu ia jawab dengan kalimat yang sama. Anda sendirilah yang menentukan masa depan Anda. Hanya dia tak tahu malam ini dia ingin pergi jauh. Dia mau menghilang. Mungkin bertubi-tubi soal menghadangnya. Dia terjebak. Akhirnya dia pergi dengan setumpuk rasa sesal.

* * *

Mamanya bertanya, “Sayang kenapa kau menangis?”

Bocah itu menjawab “Bapak sudah pergi”

Mamanya terkejut dengan puing-puing bathinnya yang hancur lebur hingga jatuh tercebur ke mana-mana. Mereka menangis dan berangkulan erat sekali. Mereka menangis dengan diam yang menusuk. Tak seorang pun tahu alasan ibu beranak itu. Mereka terus menangis dalam diam yang dalam.

Kupang. Di saat mendoakan para Imam dalam tahun Imamat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline