Lihat ke Halaman Asli

Januariansyah Arfaizar

Dosen STAI Yogyakarta - Peneliti PS2PM Yogyakarta - Mahasiswa HES Prodi Hukum Islam Program Doktor FIAI UII

PHK Terus Meningkat, PR Besar Prabowo Warisan Jokowi

Diperbarui: 1 November 2024   21:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi PHK (Foto Kompas)

Membaca laporan kontraksi manufaktur yang terjadi empat bulan berturut-turut di Indonesia, tentu membuat siapa saja miris. Di tengah ekspektasi besar pada pemerintahan baru, terutama dengan Prabowo yang baru dilantik pada 20 Oktober, kabar ini justru menggarisbawahi tantangan berat yang diwariskan oleh pemerintahan sebelumnya. 

Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang berada di angka 49,2 pada Oktober 2024 menunjukkan kondisi yang benar-benar tidak menggembirakan, terutama dengan penurunan daya beli, output yang lesu, dan berkurangnya pesanan baru.

Fenomena ini bukan sekadar angka, tetapi nyata terasa bagi masyarakat yang harus menghadapi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terus meningkat. Penurunan jumlah pesanan menyebabkan tumpukan pekerjaan berkurang, stok barang melimpah, dan produktivitas merosot. 

Situasi ini mengingatkan kita pada masa awal pandemi 2020, ketika ekonomi juga terpaksa melambat akibat lockdown. Namun, kali ini faktor pendorongnya lebih kompleks, mulai dari ketidakpastian geopolitik, inflasi yang bergejolak, hingga permasalahan rantai pasokan.

Hal yang paling memprihatinkan adalah bagaimana daya beli masyarakat yang melemah turut berkontribusi pada kondisi ini. Pelaku usaha dalam negeri bahkan melaporkan penurunan daya beli tidak hanya di pasar domestik, tetapi juga di pasar internasional. 

Ketidakpastian geopolitik semakin memperburuk situasi ini, memicu penurunan pesanan ekspor baru selama delapan bulan berturut-turut. Jadi, bukan hanya industri dalam negeri yang terpukul, tetapi juga orientasi ekspor yang biasanya menjadi penyelamat.

Bagi Prabowo, ini bukan sekadar warisan masalah ekonomi, melainkan pekerjaan rumah besar yang membutuhkan solusi konkret dan cepat. Ketika perusahaan manufaktur mulai menurunkan jumlah pekerja, artinya ada risiko besar yang mengancam stabilitas sosial. 

Masyarakat yang kehilangan pekerjaan tentunya akan terimbas secara langsung, dan ini akan menambah beban ekonomi keluarga serta memperburuk daya beli. Harapan terhadap stabilisasi pasar dan pengurangan ketidakpastian geopolitik memang ada, namun butuh waktu untuk melihat dampaknya.

Apa langkah yang bisa diambil pemerintah? Tentunya, Prabowo dan tim ekonominya perlu bergerak cepat dengan kebijakan-kebijakan strategis yang mampu merangsang kembali produksi dan menjaga stabilitas daya beli masyarakat. Dukungan terhadap industri dan usaha kecil menengah (UKM) bisa menjadi langkah awal, mengingat sektor ini memiliki ketahanan yang baik dan menyerap banyak tenaga kerja.

Satu hal yang perlu diingat, krisis ini tidak bisa dibiarkan berkepanjangan. Jika tidak ada intervensi segera, kita berpotensi mengalami dampak lebih buruk di kemudian hari. Ini adalah panggilan bagi pemerintahan baru untuk membuktikan bahwa mereka dapat membawa Indonesia keluar dari periode kontraksi ini, bukan hanya dengan janji, tapi dengan aksi nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline