Salah satu program unggulan yang dijanjikan Presiden Prabowo untuk 100 hari pertama dalam pemerintahannya adalah sektor pendidikan.
Fokusnya ada pada dua poin utama: pertama, renovasi sekolah yang mencakup ruang kelas, mebel, dan fasilitas MCK (mandi, cuci, kakus) di 22 ribu sekolah dengan alokasi anggaran Rp20 triliun. Kedua, pembangunan sekolah unggulan terintegrasi dengan anggaran Rp4 triliun.
Jika dijabarkan, setiap sekolah dari 22 ribu unit tersebut berpotensi menerima sekitar Rp900 juta untuk renovasi.
Pada prinsipnya, rencana ini memberikan harapan baru bagi kualitas pendidikan Indonesia. Dengan alokasi Rp900 juta per sekolah, berbagai perbaikan mendasar seperti pembaruan bangunan yang layak, penyediaan perabot sekolah, hingga sanitasi yang memadai bisa terealisasi.
Kondisi ruang kelas yang rusak atau mebel yang sudah tua bukan lagi cerita di pelosok-pelosok negeri, dan lingkungan belajar yang nyaman menjadi lebih dekat dengan kenyataan.
Akan tetapi, kita juga harus realistis. Tantangan besar program ini adalah memastikan anggaran yang besar benar-benar sampai ke sasaran tanpa mengalami "kebocoran."
Kita sudah terlalu sering mendengar kasus di mana dana publik habis di jalan karena potongan atau penyimpangan, entah di tingkat birokrasi, pelaksana proyek, atau pihak-pihak tertentu yang menunggangi program untuk kepentingan pribadi.
Pada praktiknya, potongan anggaran, mark-up, atau penggunaan yang tidak sesuai rencana sering terjadi dan menjadi masalah klasik di negeri ini. Prabowo juga sering menyinggung terkait kebocoran yang sering terjadi dalam berbagai orasinya.
Pemerintah harus belajar dari pengalaman sebelumnya agar program renovasi 22 ribu sekolah ini tidak menjadi sekadar janji politik. Pengawasan dan transparansi perlu ditegakkan dengan serius, tidak hanya dari lembaga pengawas internal pemerintah, tetapi juga melibatkan masyarakat, LSM, dan media. Jika semua pihak terlibat aktif dalam mengawal program ini, peluang keberhasilannya akan lebih besar.
Selain itu, program ini bisa menjadi momentum untuk memikirkan ulang standar renovasi dan pembangunan sekolah. Tidak hanya soal mebel dan bangunan fisik, tapi juga memastikan sekolah-sekolah memiliki akses pada sarana penunjang seperti perpustakaan yang memadai dan fasilitas teknologi yang mendukung proses belajar-mengajar di era digital.
Jika program ini berhasil, akan menjadi angin segar bagi dunia pendidikan di Indonesia. Dengan lingkungan belajar yang nyaman dan fasilitas yang memadai, anak-anak di pelosok dan kota bisa menikmati hak pendidikan dengan lebih layak.