Lihat ke Halaman Asli

Berkarib dengan Pembaringan

Diperbarui: 6 Juli 2016   14:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

humaida, di ruang perawatan RSUD Panglima Sebaya Tanah Grogot, Kaltim

untuk video seperti apa kondisi ibu saya dapat di jumpai disini video

Apa yang anda rasakan jika dunia yang anda tinggali diganti dengan ruang perawatan rumah sakit?, luasnya angkasa, birunya laut, dan hijaunya pegunungan diganti menjadi kamar berukuran kira-kira 6 x 5, dengan ranjang, wastafel, dan kamar mandi. Hal ini terjadi pada ibu saya, Humaida 45 tahun,  yang mengalami kerusakan syaraf dan lumpuh selama kurang lebih enam tahun, setelah melakukan operasi KB Setril pasca melahirkan anak kelimanya di klinik muhamadiyah Tanah Grogot, Paser.

Lima tahun silam tepatnya Juli 2011, adik bungsu saya lahir, wanita ketiga dalam keluarga , setelah ibu dan adik ketiga saya. Pada awalnya bermodalkan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu), ibu berencana melahirkan di RSUD Panglima Sebaya Tanah Grogot, namun dengan alasan yang tidak saya ketahui, maka pihak RS merujuk ibu ke Klinik Muhamadiah. Dengan obat perangsang beliau melahirkan dengan normal, sejauh ini semua berjalan baik-baik saja. Usia yang sudah kepala empat membuat ibu memutuskan untuk melakukan KB Steril segera setelah melahirkan, dan disinilah masalah mulai muncul. Menurut penuturan ayah saat mendampingi ibu, operasi KB Steril dilaksanakan kira-kira dua jam pasca proses bersalin, segera setelah selesai operasi ibu mulai mengeluh sakit pada bagian perut, sekitar dua jam kemudian berlanjut kejang-kejang, mendengkur, dan kemudian kehilangan denyut nadi, jantung, dan berhenti bernafas.

Keadaan ibu yang sudah begitu gawat membuat pihak Klinik mengembalikan ibu ke RSUD Panglima Sebaya sebagai pihak pertama yang merujuk ibu ke Klinik. Kurang lebih 30 menit ibu saya bergelut dengan maut, sebelum “hidup” kembali setelah berbagai upaya dilakukan dokter. Ibu saya memang hidup “kembali” namun ia sudah tidak seperti sedia kala. 

Sempat mengalami koma dalam waktu yang tidak diketahui, dan saat sadar ibu sudah dalam kondisi yang memprihatinkan, hanya bisa berbaring dengan ekspresi datar, makan menggunakan selang, tanpa bisa mengucap sepatah kata. Jangankan untuk berbicara, mengeluh kesakitan saja beliau tidak bisa, membalikkan dan memiringkan badanya pun hanya bisa dilakukan orang yang menjaganya. 

Saya tidak tahu apakah didalam sana ibu masih punya fikiran, memori, atau kenangan, yang saya takutkan beliau terpenjara didalam dirinya sendiri, saya tidak bisa membayangkan seberapa mengerikanya hal itu. Berdasarkan cerita ayah, sebelum menerima penanganan dari dokter, ibu tidak mendapat tindakan apapun bahkan setelah mengalami kejang, mendengkur, dan berhenti bernafas, ini artinya saat itu otak ibu saya tidak mendapat asupan oksigen. Anda bisa bayangkan apa yang dialami otak saat tidak mendapat oksigen? 

Dokter syaraf yang menangani ibu pernah menjelaskan. Hanya butuh sekitar dua menit saja tanpa oksigen maka dapat membuat otak rusak cukup parah, hal ini bahkan berlaku pada manusia dengan kondisi paling fit sekalipun. Inilah jawaban yang dulu saya cari-cari. bagaimana bisa operasi KB Steril mengakibatkan kerusakan sangat parah pada otak.

Pertanyaan pun muncul, apa saja yang pihak Klinik lakukan saat menunggu penangan dokter? Tidak adakah yang berfikir akan bahaya otak yang tidak mendapat asupan oksigen?. Pertanyaan berikutnya adalah mengapa ibu saya mengalami kejang, bahkan sempat “kehilangan nyawa” dua jam pasca operasi KB Steril? Dugaan yang muncul adalah ibu saya alergi terhadap anastesi (bius) sebelum opersi KB Steril. Sebelum saya lanjutkan lebih jauh, saya ingin menjelaskan dari mana saya tahu semua ini. 

Saya tidak mendapatkan penjelasan ini dari pihak Klinik, dokter yang menangani ibu saya saat kritis, maupun dari pihak RSUD. Saya mendapatkan semua jawaban ini dengan bertanya langsung pada salah satu dokter syaraf terkemuka di Kaltim, bermodalkan hasil CT Scan/ MRI (tepatnya saya kurang tahu apa namanya) dan kronologis kejadian, sang dokter pun menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada ibu saya.

Mengapa saya baru memposting cerita ini sekarang? Ayah adalah orang yang tidak suka keributan, maka jauh-jauh hari saya sudah dilarang membuat tulisan apapun di media sosial. Selain itu ketakutan ayah akan kondisi ibu yang masih sangat tidak stabil di dua tahun pertama pasca koma, membuat ayah takut jikalau terjadi apa-apa saat memperjuangkan keadilan untuk ibu. 

Selain dari pada itu, ayah lebih senang menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan dan lebih mementingkan bagaimana caranya untuk menyembuh kan ibu saya. Dari pada mempertanyakan apa, bagaimana, dan siapa yang bertanggung jawab atas peristiwa ini. Namun ,lima tahun lebih berselang memang bisa membuat orang amnesia, terutama pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kejadian ini. Jadilah saya membuat tulisan di tahun keenam. Kalau ukuranya penyelesaian kekeluargaan, berarti perawatan tanpa pengobatan bertahun-tahun di rumah sakit, maka saya dan ayah lebih memilih jalur lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline