Lihat ke Halaman Asli

Tan Malaka, Pahlawan Yang Dilupakan (1)

Diperbarui: 21 Februari 2016   00:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13937673191382228216

[caption caption="Dok. @TanMalaka"][/caption]“Hidup diburu, wafat di hujat, nasib sang bapak Republik Indonesia. Tan Malaka, berjuang sepanjang usia untuk kaumnya, justru dihina durja oleh bangsanya. Paham yang terlalu kiri menjadi penyebabnya, walau ia begitu menjunjung agamanya. Ingatlah bahwa dari alam kubur suara saya akan lebih keras dari pada di atas bumi, begitu ujarnya.”

Saya heran mengapa sosok Tan Malaka menjadi satu-satunya pahlawan nasional yang namanya kurang familiar di ingatan saya. Belakangan saya baru tahu bagaimana kurang lebih selama 30 tahun orde baru mencoba menghapus jejaknya. Sejujurnya saya kurang suka dengan kedekatanya dengan pihak kiri, namun sang fajar merah ini terlihat berbeda. Hal ini dikarenakan, dalam buku 'Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia' Karya Harry A Poeze dituliskan, walaupun ia dekat dengan Moscow bukan berarti ia tak mengenal agama seperti paham komunis. Dibesarkan dilingkungan keluarga yang kental dengan agama Islam, membuat Tan Malaka begitu menjunjung agamanya sekalipun dia agen Komintern wakil Asia Tenggara.

Resah, dan gundah gulana akan nasib bangsanya membuat Tan Malaka berjuang untuk negrinya, walaupun terasing ke Belanda. Keluar masuk penjara, tak mengapa baginya asalkan bangsa tercinta merengkuh merdeka. Hingga sekarang seorang Tan Malaka masih belum diterima sepenuhnya oleh bangsanya, bangsa yang ia bela hingga akhir hayatnya. Rasanya saya tidak pantas menulis tulisan ini, saya hanya pemuda awam buta sejarah kelam Indonesia. Tapi saya harus tetap menulis apa yang ada di fikiran saya, karena ini gundah gulana yang saya rasa.

Apa jadinya jika proklamator kita tak pernah membaca karya Tan Malaka?. Bagaimana bisa seorang agen Komintern merumuskan konsep Republik yang kelak akan digunakan untuk membentuk Indonesia tercinta?.Saya tidak tahu sebesar apa kecintaanya terhadap negri ini karena saya tak hidup di zamannya. Namun melihat sejarah yang terukir atas namanya, rasanya saya berani bertaruh bahwa seorang Tan Malaka atau Ibrahim punya lebih banyak rasa cinta untuk bangsanya daripada mereka yang menghujatnya di masa ini.

Fajar Merah Indonesia, begitulah julukanya, diambil dari karya Baronesse Orczy yang berjudul Scarlet Pimpernel, dan berkisah tentang seorang pahlawan Revolusi Perancis. Ya, mungkin seorang Tan Malaka pantas menjadi tokoh romansa semacam ini, karena sikapnya yang keras tanpa kompromi pada Belanda dan jepang. Sebagai pengajar dan guru banyak karya-karyanya yang di elu dan di puja aktivis muda di zamanya. Mulai dari filsafat, ekonomi hingga militer yang ditulisnya.

Tan Malaka bapak republik yang di lupakan, tetap tak diterima rakyatnya selama puluhan tahun bahkan setelah ajal menjemputnya. Ini semua buah dari kerjakeras orde baru yang yang mencoba menghapus jejaknya karena menjadi bapak sosialis bagi Indonesia. Seorang sosialis yang di anggap guru dalam pengetahuan revolusi oleh Putra Sang Fajar. Berjuang puluhan tahun di mancanegara tidak punya peran sama sekali saat proklamasi. Posisi terhormat itu ditempati Soekarno-Hatta. Meski Harry Poeze punya dokumentasi yang menunjukkan bahwa Tan Malaka pada 19 September 1945, menjadi aktor di belakang layar pengerahan massa dan pemuda rapat di IKADA

Huuuft, mungkin itu yang dia ucap sambil mengelus dada, saat melihat jerih payahnya untuk bangsa ini akan seperti ini jadinya. Berhasil mengusir kolonial Belanda, dan fasis Jepang. Tapi menjadi budak ekonomi di negri sendiri. Cita-citanya menjadi tuan tanah di negri sendiri tak terwujud setelah perjuangan panjang. Mungkin benar apa yang di katakannya, jika ia melihat kenyataan tanah air tercintanya tetap menjadi budak, bahkan setelah puluhan tahun peninggalanya. “Ingatlah bahwa dari alam kubur suara saya akan lebih keras dari pada di atas bumi”, begitu ujarnya.

Tan Malaka bapak republik bangsa ini, Hidup kesepian, berjuang dalam kesendirian, dan mati menyedihkan. Memutuskan tak menikah untuk perjuangan lepas dari kolonialisme Belanda, tetap berjuang walaupun terasingkan, namun di penjara lebih lama di negri sendiri dari pada penjara negri orang. Ironi sang pahlawan nasional, kira-kira apa yang akan dia katakana jika ia benar-benar bangkit dari tidur abadinya, dan melihat keadaan tanah tumpah darahnya seperti ini? Atau apa yang akan kita katakana saat bertemu dengannya di alam keabadian kelak?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline